Versus Deum
(bagian kedua)
Ini adalah pengalaman pribadi dalam pergulatanku yang melatar-belakangi
keputusanku untuk mempersembahkan Kurban Misa dalam bentuk FE ini. Awalnya
tidak pernah terpikirkan bahkan tidak tertarik untuk mempersembahkan Misa FE.
Di Roma, dalam masa Adven (2012), saya pergi mengaku dosa, imam yang
mendengarkan pengakuan dosa saya bertanya mengapa jarak dari pengakuan saya
yang terakhir jauh sekali. Apalagi dengan dosa-dosa berat yang saya buat. Wow.
Sebenarnya saya minimalis dan legalistik dengan hukum Gereja: mengaku dosa
sekurang-kurangnya setahun sekali. Sekali setahun sudah memenuhi apa yang
Gereja minta. Setelah pengakuan itu, saya mulai mencari tulisan baik buku
maupun artikel, terutama di internet, tentang imam yang mengaku dosa. Mengerihkan
apa yang saya temukan. Ada dokumen Gereja yang mengingatkan para imamnya untuk
mengaku dosa secara teratur, dan para imamlah yang harus pertama-tama
mendapatkan keuntungan dari Sakramen Pengakuan ini. Di antara tulisan-tulisan
itu ada yang berbicara tentang St. Pius X yang, sebelum menjadi paus, meminta
para imamnya hanya tiga hal: setia mendoakan Ibadat Harian, mempersembahkan
Misa setiap hari, dan mengaku dosa secara teratur.
Saya mulai berpikir untuk mencoba menghidupi apa yang memang adalah
kewajiban seorang imam. Ternyata ketiga hal tersebut di atas membawa saya lebih
jauh. Saya babak belur dengan Ibadat Harian. Sesudah tahbisan saya pikir hanya
Ibadat Pagi dan Ibadat Sore yang wajib. Ternyata seorang imam wajib mendoakan
paling kurang 5 bagian dari Ibadat Harian itu (Ibadat Bacaan, Ibadat Pagi,
salah satu dari tiga Ibadat Siang, Ibadat Sore, dan Ibadat Penutup). Membuat
Ibadat Harian (lengkap) menjadi kebiasaan menguras tenaga dan pikiran.
Syukurlah sekarang sudah menjadi rutin bahkan menjadi natural.
Sepertinya untuk Misa setiap hari tidak ada masalah. Saya setia ikut Misa
setiap hari. Tetapi pergulatanku mulai ketika menyadari bahwa ada perbedaan
antara mengikuti Misa dengan mempersembahkan Misa. Imam dianjurkan
mempersembahkan Misa setiap hari, bukan hanya mengikuti Misa seperti umat
lainnya. Padahal di komunitas kesempatan untuk pimpin Misa hanya 2 atau 3 kali
sebulan. Lantas saya mulai mencari kemungkinan imam untuk mempersembahkan Misa
tanpa umat yang hadir. Kemungkinan itu bisa dengan alasan yang kuat.
Alternatifnya adalah konselebrasi, tetapi ini pun tidak terlalu dianjurkan.
Saya sudah mencobanya dan tidak ada bedanya dengan mengikuti Misa. Sekarang ada
alasan kuat: umat tidak ada. Sedapat mungkin seminggu tiga kali saya mempersembahkan
Misa: satu hari dari hari biasa ditambah Sabtu dan Minggu.
Sementara itu, saya juga mulai membangun kebiasaan mengaku dosa sebulan
sekali. Dari kebiasaan mengaku dosa ini, saya mulai memperhatikan hal-hal yang
saya anggap kecil tetapi ternyata mendasar sekali dalam hidup imamat saya.
Keinginan menghidupi ajaran Gereja, terlebih ajaran moralnya, semakin kuat.
Cara berpakaian juga saya mulai perhatikan. Ada kode berpakaian tersendiri bagi
kaum klerus. Cara memimpin Misa juga mulai saya koreksi. Saya mulai serius
dengan apa yang digariskan oleh Gereja tentang Misa. Saya mulai memikirkan
Latin yang adalah bahasa Gereja, bahasa liturgi. Misa FE menjawab tepat
keinginan saya untuk setia terhadap Gereja dengan menghidupi ajarannya dan
menaati hirarkinya, dengan kata lain mencintai tradisi Katolik. Jadi komitmen
untuk mempersembahkan Misa FE lahir dari kemauan dan usaha untuk mencintai
tradisi Katolik.
Semoga kita para imam semakin merendahkan diri di hadapan Tuhan dan
menyadari bahwa tugas kita yang utama adalah mempersembahkan Kurban Misa, dan
memikirkan mereka yang merindukan Misa FE, sehingga kita sudi belajar tentang
Misa FE ini. Semoga.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.