Jangan macam-macam sama imam! (cfr. St. Yohanes Krisostom)


Jangan macam-macam dengan imam!
Mungkin kita pernah mendengar atau membaca santo Yohanes Krisostom, seorang bapa Gereja, yang mengatakan:
Jalan menuju neraka ditaburi dengan tengkorak para imam yang error, dengan uskup sebagai pos tanda mereka.
Dan juga yang ini:
Menurutku tidak banyak uskup yang diselamatkan, tetapi banyak yang binasa.
Yang menarik perhatian adalah bahwa kutipan seperti itu bisa menjadi satu alasan kuat untuk mengkritik atau menegur para imam, secara halusnya: mengingatkan mereka supaya bertobat. Bahkan bisa dipakai untuk melawan para imam. Mereka yang memang sudah marah dan benci pada imam, tanpa rasa hormat dan takut sedikit pun menelanjangi kejahatan dan dosa imam di depan umum. Memang tidak sedikit kejahatan dan dosa para imam sudah menjadi berita dan sensasi. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Hanya saja yang menjadi pertanyaan: mengapa kita yang Katolik justru menambah atau semakin mengumbar kelemahan dan dosa dari para imam kita sendiri? Tentunya sebagian besar orang-orang Katolik, baik awam maupun imam, jarang mengambil tindakan seperti itu. Mereka lebih mengambil jalan yang dilandasi rasa hormat dan cinta. Karena mereka ingin imam mereka tidak masuk neraka, dengan penuh kerendahan hati dan cinta, mereka menegur imam mereka untuk berubah atau bertobat.
Judul tulisan ini merangkum apa yang hendak Santo Yohanes Krisostom katakan terhadap mereka yang hendak mengkritik, menegur dan menjelek-jelekan para imam. Dia yang mengatakan bahwa di antara penghuni neraka ada imam bahkan uskup juga mengingatkan keras untuk tidak berbuat macam-macam terhadap imam termasuk mengkritik, menegur atau mengingatkan. Tulisan santo Krisostom yang kita akan renungkan adalah homilinya atas 2 Timotius yang dapat diundu di <hnnp://www.newadvent.org/fathers/230702.htm> [ganti hnnp menjadi http].
Secara umum kita sepakat bahwa menjelek-jelekan, menggosipkan, menghina, mempermalukan, atau mendera seorang imam adalah perbuatan yang tidak dapat diterima dan kita tidak akan melakukannya. Namun kita mungkin tidak sepakat dalam soal menegur, mengoreksi, dan mengkritik imam. Setelah membaca dan merenungkan tulisan St. Yohanes Krisostom kurang lebih setahun yang lalu, bagian dari pertobatan saya, saya percaya bahwa kita tidak mempunyai hak dan kewajiban menegur, mengoreksi, dan mengkritik imam. Atau sebagai imam saya tidak mempunyai hak dan kewajiban menegur, mengoreksi, dan mengkritik sesama imam. Kita bisa saja setuju tetapi ada ‘tetapi’-nya. Ada tawar-menawar.
Sebelum melanjutkan tulisan ini, dengan rendah hati saya mengakui, bahwa apa yang saya pikirkan masih jauh dari pelaksanaan. Saya masih jatuh bangun dalam dosa karena mengkritik, menceritakan buruk, dan merendahkan sesama imam.
Mengapa st. Yohanes Krisostom mengingatkan kita secara keras untuk tidak macam-macam terhadap imam? Dia berangkat dari pertanyaan: siapakah imam itu sebenarnya? Imam itu adalah utusan Tuhan, adalah orang yang diurapi Tuhan. Jika kita merendahkan imam, kita merendahkan Tuhan yang mengurapi dia. Lebih lanjut st. Krisostom menyatakan bahwa jika kita tidak percaya bahwa dia diurapi Tuhan, semua harapan kita akan sia-sia adanya. Karena merekalah, kita menjadi orang Kristen. Dialah yang membaptis kita, dialah yang memberkati kita, dialah yang memungkinkan kita menerima Tubuh Kristus, dan dialah yang berkuasa melepaskan kita dari dosa-dosa kita.
Alasan lain, dan ini yang menjadi perhatian kita, mengapa st. Yohanes Krisostom mengingatkan kita untuk tidak mengoreksi, menegur dan mengkritik imam adalah demi kebaikan dan keselamatan kita sendiri. Jangan sekali-kali kita melampaui garis pemisah antara imam dan awam. Jika kita berani melakukannya, kita akan binasa seperti orang-orang Israel yang hendak menyerang dan tidak puas dengan imam-imam-Nya yaitu Harun dan anak-anaknya (Bilangan 16).
St. Yohanes Krisostom sudah mengantisipasi keberatan kita yang terutama yaitu imam yang kelakuannya buruk. Apakah Tuhan juga dan masih berkarya lewat mereka? Tanpa ragu sedikitpun St. Krisostom menjawab: ya. Menurutnya jika Tuhan saja mau berbicara dan berkarya lewat seekor keledai dan pemiliknya Bileam yang jahat itu demi keselamatan umat-Nya (Bilangan 22-23), apalagi lewat seorang imam yang Ia sendiri urapi.
Mungkin kita mengangkat suara demikian: bukankah seharusnya seorang imam yang harus memberi teladan? Sebelum menanggapi panjang lebar keberatan ini, St. Krisostom memberikan satu prinsip: sekiranya seseorang mengajarkan ajaran sesat, meskipun ia adalah malaekat, jangan menaati dia, tetapi jika dia mengajarkan kebenaran, jangan perhatikan cara hidupnya, tetapi kata-katanya. Jadi jangan kita sibuk mencari kekurangan, kesalahan, keburukan, kejahatan, atau dosa dari imam. Jika imam melakukan kesalahan entah itu dalam mengajar maupun perbuatannya, jangan kita mulai berpikir untuk mengambil inisiatif untuk mengoreksi. Terlebih dahulu kita memeriksa diri. Yang mendasari keinginan kita untuk mengoreksi adalah karena kita lebih tahu dan lebih baik. Apakah ini memberikan saya kuasa untuk mengoreksi kesalahan imam? Tidak, menurut St. Krisostom, karena kita bukanlah guru, pemimpin, atau pendamping mereka. Ia dengan keras mengatakan: kita ini adalah bawahan, bukan pemimpin. Kita ini domba, bukan gembala. Jangan sampai karena kita penasaran tentang gembala atau imam kita, kita berdosa.
Ada kesombongan di balik pernyataan bahwa imam harus lebih tahu dan lebih baik dari kita dan di balik keinginan kita untuk mengoreksi dan menyelamatkan imam dari api neraka. Sekali lagi St. Krisostom menekankan kepada kita untuk memeriksa diri. Jika memang kita lebih tahu dan lebih baik, simpanlah itu. Bukankah Yesus mengingatkan kita untuk tidak mengumbar kebenaran dan kebaikan kita? Biarlah Bapa sendiri di surga yang tahu. Jangan sampai kita seperti orang Farisi yang dikecam oleh Yesus. Kita tidak mendapatkan apa-apa dari Bapa sendiri dalam mengoreksi seorang imam, karena pahalanya sudah kita dapatkan di dunia ini, yaitu puas dan bangga pada diri sendiri yang lebih tahu dan lebih baik. Tetapi jika kita rupanya tidak lebih tahu dan lebih baik dari imam, kita dengan rendah hati mengakui bahwa kita masih punya pekerjaan rumah dan mengapa harus menyibukkan diri memperbaiki seorang imam. Jangan kita menjadi hakim para imam. Mari kita memperhatikan keselamatan kita sendiri. Jika ada imam yang sudah berlari kepada kebinasaan, itu urusannya sendiri, urusan pemimpinnya, urusan pendamping rohaninya, dan urusan Tuhan.
Jika St. Yohanes Krisostom melarang keras berbuat macam-macam terhadap imam, ini demi kebaikan dan keselamatan kita sendiri. Jika kita berani mengangkat telunjuk bahkan kepalan tangan terhadap imam, kita berurusan dengan Tuhan sendiri.
Merenungkan apa yang ditulis oleh St. Yohanes Krisostom, jika saya melihat dan mendengar kesalahan, kejahatan dan dosa para imam, saya DIAM dan BERDOA. Jika memang ada sesuatu yang serius dan berbahaya, dengan kerendahan hati dan doa, saya menyampaikannya kepada pemimpin atau uskup dari imam yang bersangkutan. Meskipun demikian jika ada perasaan negatif, entah itu marah, jengkel, sombong, lebih benar dan lebih tahu, meskipun itu sedikit, lebih baik, dan selalu terbaik, DIAM dan BERDOA.
Keuntungan dari DIAM dan BERDOA adalah, pertama-tama, kita lepas dari dosa. Kita semakin rendah hati dan semakin melihat bahwa ternyata kita sendiri masih harus berbenah diri. Kita tidak akan sombong, karena kita belajar menempatkan segala kelebihan kita di bawah penilaian Tuhan.
Ketika kita menengur, mengoreksi atau mengkritik dengan segala kerendahan hati dan atas dasar cinta, dilakukan dengan hati-hati dan sopan, kita mungkin berhasil membuat imam berubah dan bertobat. Apakah yang kita dapatkan? Tentunya perasaan senang dan bangga karena kita sudah berhasil. Kita mungkin tidak sadar bahwa ini adalah dosa kesombongan. Tetapi jika imamnya tidak berubah dan bertobat, bahkan bisa lebih buruk karena menyerang balik atau marah, apakah yang kita dapatkan? Tidak hanya sakit hati, tetapi juga dosa. Ini membawa kita pada keuntungan yang kedua dari DIAM dan BERDOA.
Ketika kita DIAM dan BERDOA, kita memercayakan imam kita pada bimbingan Tuhan, pada Dia yang telah mengurapinya. Kita percaya Tuhan mempunyai cara yang terbaik. Tuhan tidak hanya memberi yang terbaik tetapi lebih dari apa yang kita bayangkan. Dan inilah yang disebut keajaiban, misteri Tuhan. Ketika saya sudah mulai merayakan Ekaristi secara benar, atau mempersembahkan Kurban Misa (FE) lebih teratur, ada keinginan untuk mengoreksi imam lain yang merayakan Ekaristi tanpa kasula, contohnya. Tetapi lebih baik DIAM dan BERDOA. Akhirnya ada kesempatan memimpin rekoleksi untuk komunitas. Saya mengangkat tema tentang imamat dan Misa. Saya memberikan penjelasan bagaimana pentingnya liturgi (Misa, ibadat Harian, dan pengakuan dosa) terhadap hidup seorang imam. Ada saja imam yang tidak berkasula ketika memimpin Ekaristi, tetapi ada imam yang mulai serius menjalankan apa yang diwajibkan oleh Gereja. Diskusi semakin terbuka tentang pentingnya mengikuti rubrik secara benar, mendoakan Ibadat Harian dan rosario. Saya sendiri semakin membenahi diri tentang liturgi yang adalah bagian utama dalam hidup saya. Saya percaya ada saja perubahan yang Tuhan sedang lakukan, namun kita tidak melihatnya. Sekurang-kurangnya kesabaran Tuhan nampak.
Masih banyak yang harus ditulis, tetapi biarlah itu di kesempatan lain. Ini yang terakhir. Ketika kita mendoakan imam, kita mendoakan keselamatannya. “Bebaskanlah dia dari segala yang jahat, dan janganlah masukkan dia ke dalam pencobaan.” Bukankah Yesus sendiri yang mengajarkan kita berdoa demikian? Ada sahabat yang mengatakan: Romo, saya sering mendoakan imam supaya dipindahkan, supaya bertobat dan berubah. Setelah kami bertukar pikiran, sahabat ini dengan senang hati mendoakan para imam supaya selamat, supaya bebas dari segala yang jahat, bebas dari pencobaan. Semoga.

Mau mengkritik atau menegur imam? BACA DULU INI.


Jangan berdosa terhadap imam !
Judul di atas juga berlaku bagi saya sebagai imam, dengan demikian judul itu menjadi “jangan berdosa terhadap sesama imam.” Permenungan ini berangkat dari keprihatinan dan kritik terhadap imam yang saya baca di Facebook (FB). Saya minta maaf karena 1) mengutip tanpa ijin, 2) saya tidak akan menyebutkan nama, dan 3) kemungkinan saya bahasakan ulang.
Kita mulai dengan satu keprihatinan yang tertulis di FB:
[Atas nama “mencintai Gereja Katolik”, orang menulis dan berkomentar] semakin lama semakin "sangar", semakin tidak tau sopan santun dan semakin beringas dalam mengkritik imam...
Hanya “mengkritik imam” saja, kita sudah harus berhati-hati. Apalagi kalau itu dilakukan dengan tidak sopan. Kata-kata lain yang senada adalah menggosipkan, mengejek, menegur, marah, jengkel. Ini memberi kesan bahwa imam itu untouchable (tidak bisa disentuh) dalam arti tidak boleh ditegur, diingatkan,  atau dikritik.
Sekarang ini saya yang adalah imam semakin sadar bahwa saya tidak mempunyai hak dan kewajiban menegur dan mengkritik sesama imam, termasuk yang muda. Saya sedapat mungkin tidak menjelek-jelekan sesama imam. Lantas bagaimana kita yang awam? Hal yang sama. Para imam mempunyai pimpinan (superior) dan/atau uskup yang mempunyai hak dan kewajiban untuk menegur dan mendisiplinkan mereka.
Jika demikian, kita diam saja, ketika kita melihat ada imam yang nyata-nyata hidup moralnya bertentangan dengan kemurnian, gaya hidupnya bertentangan dengan nasehat injili, kurang pintar, menjengkelkan karena suka marah-marah dan cepat emosi, cara berpakaiannya tidak layak, cara berliturgi sembarangan, atau kotor dan bau. Betul, DIAM, itulah cara yang tepat.
MENGAPA KITA HARUS DIAM? Begini, orang sakit itu ada ahlinya. Kalau kita bukan dokter, jangan mengambil inisiatif untuk memberi nasehat apalagi memberi obat kepada yang sakit. Demikin juga dengan para imam, mereka mempunyai pendamping dan pemimpin yang bertanggung jawab.
MENGAPA KITA HARUS DIAM? Para imam adalah orang yang diurapi oleh Tuhan. Apakah kita tidak ada perasaan takut sedikitpun terhadap mereka? Mungkin kita berkomentar: mereka juga manusia, kita mempunyai derajat yang sama di hadapan Tuhan. Tunggu dulu. Kita tidak mempunyai derajat yang sama di hadapan Tuhan. Jika kita mengatakan bahwa awam dan imam mempunyai derajat yang sama di hadapan Tuhan, kita mengambil pemahaman dunia tentang hubungan antar manusia. Dunia berusaha supaya setiap orang mempunyai hak dan kewajiban yang sama, derajat yang sama, sama di hadapan hukum. (Catatan sampingan: tetapi apa yang dunia inginkan ini adalah ilusi.) Jangan kita pernah berpikir bahwa kita mempunyai martabat yang sama dengan imam di hadapan Tuhan. Apakah kita (awam) akan sanggup menerima pertanggungjawaban (hukuman) dari Tuhan yang berat yang dibebankan kepada imam?
MENGAPA KITA HARUS DIAM? Ada banyak hal yang kita tidak tahu tentang imam yang dalam kesulitan dan bermasalah. Saya menangis terharu ketika seorang mengatakan hal seperti ini: “saya doakan, Pastor.” Atau “apakah ada yang saya bisa bantu, Romo.” Atau “saya novena/puasa untuk Romo.” Atau “saya mengerti, Pastor.”
Kita tahu para imam itu tidak luput dari kelemahan, keterbatasan, kesalahan, dan dosa. Bahkan ada di antara mereka adalah pendosa berat. Tetapi apakah ini menjadi urusan kita? Kita perlu ingat Tuhan itu memilih mereka, bukan karena kebaikan dan kejahatan mereka, tetapi karena belas kasih Tuhan semata-mata. Jika kita menerima ini, kehadiran imam dalam hidup kita sungguh menjadi berkat bagi kita. Jangan sampai kita menolak kerahiman Tuhan, karena kita memfokuskan perhatian kita pada kelemahan dan dosa para imam. Itulah sebabnya Gereja mengajarkan bahwa Kurban Misa dan absolusi atas dosa-dosa kita tetap valid/sah meskipun imamnya dalam keadaan dosa berat.
Kita ke hal yang lebih konkrit. Ada yang mengutip St. Yohanes Krisostom demikian:
Jalan menuju neraka ditaburi dengan tengkorak para Imam yang error, dengan uskup sebagai pos tanda mereka.
Kemudian ada yang menanggapi demikian (saya biarkan sebagaimana tertulis);
krn imam skrg lebih loyal pada umat yg milioner imam matre katax datang utk melayani bkn di layani,,,minta buat misa di umat yg sederhana bx alasan. maklum intensi misax kecil. dosa imamx besar,,,jadi imam ko koruptor ?? nga usa bohong lah realita im skrg bukan menumbuhkan iman umat tapi memumbuhkan ekonomi diri. mati maux masuk surga
Meskipun ada yang benar dalam pernyataan seperti itu, tetapi apakah dalam hati yang menulisnya tidak ada sedikit pun ketakutan bahwa ia jatuh dalam dosa saat menulis hal seperti itu. Sekurang-kurangnya ia bertanya: apakah uang saya yang dikorupsi? Berapakah yang telah saya berikan kepada imam itu? Apakah saya bersih dari dosa materialisme?
Setiap kali saya mendengar imam jatuh dalam dosa, kesalahan, atau kejahatan, saya memeriksa batin.
Bagaimana dengan ini?
Dkota sy sendiri ada uskup yg mempunyai anak yg sdh dewasa,pastor yg tak sengaja sy temukan sdg berciuman dgn biarawati …
Dan yang ini?
saya adalah salah satu umat paroki… pastor tsb memang terkenal emosian n kadang2 tdk segan melampiaskan emosinya pd saat misa. … mungkin beliau sdh pernah ditegur oleh pastor paroki … tetapi beliau sptnya tdk begitu mempedulikan teguran tsb, kami sebagian umat sangat prihatin thd sikap beliau ….
Rasa malu, kesedihan, kemarahan, keprihatinan kita mempunyai alasan yang kuat. Tetapi tidak adakah sedikit rasa takut akan berdosa dalam diri kita ketika kita mulai menimbang-menimbang permasalahan yang dimiliki oleh uskup, imam dan biarawati itu? Yang menjadi ketakutan saya adalah bagaimana kalau uskup dan imam itu telah bertobat, telah mengaku dosa atas dosa-dosa yang dibuatnya itu? Jika saya menghakimi dan menggunakan cerita seperti itu untuk melawan para imam bahkan uskup, dosa mereka akan jatuh ke saya. Jadi lebih baik DIAM dan BERDOA. Jangan pernah mengangkat telujuk apalagi kepalan tangan terhadap mereka yang diurapi Tuhan.
Kadangkala kita mengambil permasalah yang ekstrim dan jarang sebagai dasar atas hak dan kewajiban kita untuk menegur atau dalam bahasa halusnya mengingatkan para imam. Contoh kasus yang ekstrim itu adalah pedofil dan pembunuhan. Gereja sudah mempunyai sarana untuk menangani kasus-kasus seperti itu. Kita perlu mawas diri terhadap pemberitaan yang berlebihan dan kadangkala tidak adil tentang kejahatan yang dilakukan oleh para imam. Ada ideologi di balik itu. Dunia ingin mendesekralisasi imam. Dunia ingin Gereja mengubah ajaran moralnya.
Saya pernah menulis kurang lebih demikian di FB: jika kita ingin imam panutan dalam hidup moral, kita akan kecewa. Jika kita ingin imam berhomili seperti motivator, kita akan kecewa. Jika kita imam tahu sopan santun, kita akan kecewa. Jika kita ingin imam pandai bergaul, kita akan kecewa. Tetapi jika kita melihat dalam diri imam, kelemahan dan kerapuhan kita sendiri, kita akan bersyukur mempunyai imam yang sudi berdiri di hadapan Tuhan memohon belas kasih-Nya untuk kita.
Kebahagiaan seorang Katolik: mempunyai imam yang bergulat dalam dosa dan pertobatan, sehingga ketika saya datang mengaku dosa kepadanya, ia sungguh mengerti saya. Yang penting saya diberkati oleh yang diurapi Tuhan, yang penting saya dapat absolusi atas dosa-dosa saya dari yang diurapi Tuhan, yang penting saya menerima Tubuh Kristus dari yang diurapi Tuhan, itu sudah lebih dari cukup. Mengapa saya menyusahkan diri memikirkan dosa-dosanya? Itu urusan dia, itu urusan uskup atau pemimpinnya, itu urusan pembimbing rohaninya, dan itu urusan Tuhan.

Extra Ecclesiam Nulla Salus


Extra Ecclesiam Nulla Salus
Apakah pernyataan ini: “Di luar Gereja tidak ada keselamatan” masih bisa dipertanggungjawabkan? Secara positif pernyataan ini dapat dibahasakan demikian: “Gereja perlu untuk keselamatan.”
Atas nama toleransi, keterbukaan (open-minded), menghargai agama-agama lain, kemajemukan, ada yang menolak pernyataan Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS) ini. Di lain pihak ada yang berusaha mengartikan sedemikian rupa sehingga akhirnya sampai pada kesimpulan: “penganut agama lain juga selamat.” Tetapi ada yang percaya dan berusaha membelanya sebagaimana tertulis, jadi hanya orang-orang Katolik saja yang selamat. Kelompok terakhir inilah yang saya akan renungkan dan memberi kesimpulan bahwa argumen di balik kepercayaan mereka adalah benar dan logik.
Orang-orang yang melihat semua agama sama atau kurang paham tentang agama baik agamanya sendiri maupun agama orang lain akan menyatakan bahwa setiap orang bisa selamat entah apapun agamanya. Atau supaya masih kedengaran Kristen, ada yang mengatakan apapun agamanya orang akan diselamatkan oleh Yesus Kristus.
Setiap agama dan termasuk orang yang tidak percaya pada Tuhan (atheism) atau tidak beragama tapi percaya adanya kekuatan yang lebih besar dari ciptaan (deism) masing-masing menawarkan tujuan atau akhir dari hidup manusia. Gereja pun menawarkannya. Tidak bisa kita mengambil kesimpulan bahwa namanya saja yang berbeda, karena apa yang ditawarkan sungguh berbeda bahkan bertolak belakang. Tidak bisa juga kita mengambil kesimpulan bahwa Tuhan menawarkan banyak pilihan, karena ada di antara pilihan itu tidak ada hubungannya dengan keberadaan Tuhan. Yang Tuhan berikan bukannya banyaknya pilihan, tetapi Tuhan memberi kita kebebasan untuk memilih atau menolak tawaran Tuhan.
Mari kita melihat beberapa contoh. Agama Buddha tidak berbicara tentang Tuhan. Penganutnya berusaha untuk mencapai nivana di mana bebas dari penderitaan atau kelua dari lingkaran karma. Tidak dijelaskan apa sebenarnya yang ada atau dicapai ketika sudah lepas dari penderitaan. Ada yang mengatakan kekosongan atau kegelapan. Mereka yang atheis atau deism juga menawarkan akhir manusia yaitu hilang, habis total, tidak ada apa-apa lagi. Kaum Muslim percaya adanya surga di mana ketaatan mereka di dunia ini akan dibalas dengan berlimpahnya kenikmatan dan kebahagiaan yang melampaui apa yang bisa dibayangkan di dunia ini, termasuk mereka yang akan diberikan gadis-gadis perawan. Lantas mereka yang kafir, murtad dan tidak taat, siksaan tidak terkirakan sudah menunggu mereka di neraka.
Lantas bagaimana dengan keselamatan yang ditawarkan oleh agama Kristen? Masuk dalam kemuliaan Tuhan, bersatu dengan Tuhan. Di sana ada pengampunan, syukur dan pujian. Ada suka cita karena melihat wajah Tuhan. Sementara yang tidak masuk dalam kemuliaan Tuhan akan dalam kemarahan, penyesalan, iri hati yang tidak berkesudahan. Agama Kristen tidak menawarkan keselamatan dalam kesenangan jasmani tetapi sukacita rohani.
Setiap agama mempunyai cara sendiri mempertanggungjawabkan apa yang mereka tawarkan. Para penganutnya memercayakan diri atas penjelasan itu dan mereka berharap ketika meninggal sungguh mendapatkan apa yang telah dijanjikan kepada mereka. Dan tujuan hidup itu sudah mempengaruhi hidup mereka di dunia ini. Seorang Muslim yang ingin masuk surga akan memperhatikan apa yang dia makan. Dia menghindari apa yang haram. Seorang pengikut Buddha akan berusaha menabur kebaikan untuk memperpendek karmanya. Seorang atheis akan menikmati hidup di dunia ini sebaik mungkin karena kematian adalah akhir dari segala-galanya.
Setiap agama atau sistem pemikiran (atheism dan deism) menawarkan tujuan hidup manusia dan juga cara mencapainya. Jika seseorang mau tujuan hidupnya adalah A tetapi mengikuti cara hidup B, tentunya dia tidak akan mencapai tujuan hidup A.
Kembali ke EENS. Sebenarnya setiap agama atau sistem pemikiran menawarkan satu-satunya jalan untuk mencapai satu-satunya tujuan pula. Coba kita bertanya kepada seorang Muslim, apakah seorang Katolik bisa masuk surga mereka? Tentunya tidak, karena orang Katolik itu pemakan makanan haram (babi, alkohol), penyembah berhala, men-Tuhan-kan Yesus Kristus. Jadi jelas tidak bisa masuk. Bagaimana kalau kita bertanya kepada atheis. Atheis akan menjawab bahwa orang Katolik itu menyia-nyiakan hidup mereka di dunia ini dan hidup dalam ilusi. Jadi setiap agama menganut apa yang ada di balik EENS itu yaitu: Di luar agama ini atau sistem pemikiran ini, tidak ada keselamatan.
Sekarang yang menjadi tugas kita sebagai orang Katolik adalah mempertanggungjawabkan apa yang Tuhan tawarkan kepada kita lewat Gereja-Nya. Apakah kita sungguh percaya keselamatan yang Tuhan tawarkan itu? Apakah hidup kita sungguh selaras dengan tujuan hidup kita itu? Saya bersyukur lahir dalam Gereja Katolik. Keselamatan yang ditawarkan adalah benar dan indah. Dan jalan menuju tujuan itu tidak lain tidak bukan adalah Gereja Katolik.
Keselamatan yang Tuhan tawarkan kepada manusia yaitu pengampunan, Yesus Kristus sebagai kurban pemulih atas dosa-dosa kita, Roh Kudus, dan masih banyak lagi, kita sudah mengalaminya secara nyata dalam Gereja Katolik lewat pelayanan sakramen-sakramennya. Keselamatan orang Katolik bukan hanya sesuatu yang akan datang, tetapi juga sudah mulai sudah mengalaminya. Sakramen-sakramen dalam Gereja membawa surga ke dalam dunia, dan membawa manusia menuju surga. Berbahagialah mereka yang percaya.
Dua pertanyaan terakhir: 1) bagaimana mereka yang lahir sebelum Yesus datang ke dunia ini dan mereka yang tidak pernah mendengarkan Injil atau iman akan Yesus Kristus? Gereja mengajarkan bahwa ada kemungkinan bagi mereka karena bukan kesalahannya sendiri, bisa selamat dengan cara yang Tuhan sendiri tahu. 2) berarti banyak yang tidak akan selamat? Tuhan tidak memaksa orang masuk surga, karena kalau dipaksa, surga akan menjadi neraka baginya. Keselamatan adalah tawaran, bukan paksaan. Manusia punya pilihan. Supaya banyak yang selamat, kita wajib menyebarkan tawaran Tuhan itu. Tetapi satu ketentuan, kita tidak boleh memaksa baik secara halus maupun keras untuk menjadi Katolik. Baptisan secara paksa tidak sah. Bukankah Yesus sudah mengingatkan kita tentang pintu yang kecil itu? Lagi pula dibaptis Katolik belum jaminan, kita harus menghidupi pembaptisan kita, artinya kita harus hidup secara Katolik. Kalau kita yakin bahwa ada orang Katolik yang akan binasa, mengapa kita kurang yakin dengan kebinasaan penganut agama lain? Kita tidak menghakimi siapa yang masuk surga dan neraka, Tuhan pun tidak, tetapi setiap orang di dunia ini telah menentukan pilihannya. Seperti rasul Paulus mengatakan: marilah kita berlari sedemikan rupa untuk mendapatkan mahkota yang kekal. Dan dalam berlari itu, mari kita saling mengingatkan satu sama lain akan tujuan hidup kita dan jalan menuju tujuan itu.

Tetap melakukan yang benar dan indah, meskipun....


Tetap melakukan yang benar dan indah, meskipun....
Dalam hidup, ada banyak hal yang tidak bisa kita dapatkan, termasuk menghadiri Misa FE secara teratur, karena satu dua hal, termasuk tidak ada imam yang mempersembahkannya. Namun kecintaan kita terhadap tradisi Katolik jangan sampai lemah. Ada yang menulis demikian:
Pergumulan hati sebelum menuju Misa Kudus, antara menggunakan mantilla atau tidak, akhirnya aku mengambil keputusan untuk menggunakan mantilla.
Ini adalah salah satu contoh di mana kita tetap proaktif meskipun ketika apa yang kita harapkan belum ada. Contoh yang lain seperti menanggapi undangan seperti ini:
The Ordinary Form of Roman Missale,
aka Misa Latin Bentuk Biasa (Novus Ordo) Paulus VI.
On Sun. Feb. 16, 2014 started 15:00
Dan saya tambahkan: kita bisa juga menerima komuni langsung di lidah sambil berlutut.
Dari pada merasa diabaikan atau “tidak dimengerti” – seperti yang ditulis di FB demikian:
Paus Fransiskus tidak bisa mengerti mengapa generasi muda Katolik sekarang ini mau kembali ke Misa Latin Tradisional.
Menurut Paus, fenomena ini hanyalah sekedar mode atau Fashion. Dan kalau fenomena ini hanya sekedar mode/fashion maka TIDAK PERLU diberi perhatian lebih.
kita tetap setia melakukan yang benar dan indah. Dengan demikian ketika ada kesempatan menghadiri Misa FE, kita tidak merasa asing, tetapi sesuatu yang telah kita hidupi.
Tuhan memberkati.
N.B: Saya sengaja tidak mencantumkan nama-nama yang menulis.

Versus Deum (bagian kedua)


Versus Deum
(bagian kedua)
Ini adalah pengalaman pribadi dalam pergulatanku yang melatar-belakangi keputusanku untuk mempersembahkan Kurban Misa dalam bentuk FE ini. Awalnya tidak pernah terpikirkan bahkan tidak tertarik untuk mempersembahkan Misa FE. Di Roma, dalam masa Adven (2012), saya pergi mengaku dosa, imam yang mendengarkan pengakuan dosa saya bertanya mengapa jarak dari pengakuan saya yang terakhir jauh sekali. Apalagi dengan dosa-dosa berat yang saya buat. Wow. Sebenarnya saya minimalis dan legalistik dengan hukum Gereja: mengaku dosa sekurang-kurangnya setahun sekali. Sekali setahun sudah memenuhi apa yang Gereja minta. Setelah pengakuan itu, saya mulai mencari tulisan baik buku maupun artikel, terutama di internet, tentang imam yang mengaku dosa. Mengerihkan apa yang saya temukan. Ada dokumen Gereja yang mengingatkan para imamnya untuk mengaku dosa secara teratur, dan para imamlah yang harus pertama-tama mendapatkan keuntungan dari Sakramen Pengakuan ini. Di antara tulisan-tulisan itu ada yang berbicara tentang St. Pius X yang, sebelum menjadi paus, meminta para imamnya hanya tiga hal: setia mendoakan Ibadat Harian, mempersembahkan Misa setiap hari, dan mengaku dosa secara teratur.
Saya mulai berpikir untuk mencoba menghidupi apa yang memang adalah kewajiban seorang imam. Ternyata ketiga hal tersebut di atas membawa saya lebih jauh. Saya babak belur dengan Ibadat Harian. Sesudah tahbisan saya pikir hanya Ibadat Pagi dan Ibadat Sore yang wajib. Ternyata seorang imam wajib mendoakan paling kurang 5 bagian dari Ibadat Harian itu (Ibadat Bacaan, Ibadat Pagi, salah satu dari tiga Ibadat Siang, Ibadat Sore, dan Ibadat Penutup). Membuat Ibadat Harian (lengkap) menjadi kebiasaan menguras tenaga dan pikiran. Syukurlah sekarang sudah menjadi rutin bahkan menjadi natural.
Sepertinya untuk Misa setiap hari tidak ada masalah. Saya setia ikut Misa setiap hari. Tetapi pergulatanku mulai ketika menyadari bahwa ada perbedaan antara mengikuti Misa dengan mempersembahkan Misa. Imam dianjurkan mempersembahkan Misa setiap hari, bukan hanya mengikuti Misa seperti umat lainnya. Padahal di komunitas kesempatan untuk pimpin Misa hanya 2 atau 3 kali sebulan. Lantas saya mulai mencari kemungkinan imam untuk mempersembahkan Misa tanpa umat yang hadir. Kemungkinan itu bisa dengan alasan yang kuat. Alternatifnya adalah konselebrasi, tetapi ini pun tidak terlalu dianjurkan. Saya sudah mencobanya dan tidak ada bedanya dengan mengikuti Misa. Sekarang ada alasan kuat: umat tidak ada. Sedapat mungkin seminggu tiga kali saya mempersembahkan Misa: satu hari dari hari biasa ditambah Sabtu dan Minggu.
Sementara itu, saya juga mulai membangun kebiasaan mengaku dosa sebulan sekali. Dari kebiasaan mengaku dosa ini, saya mulai memperhatikan hal-hal yang saya anggap kecil tetapi ternyata mendasar sekali dalam hidup imamat saya. Keinginan menghidupi ajaran Gereja, terlebih ajaran moralnya, semakin kuat. Cara berpakaian juga saya mulai perhatikan. Ada kode berpakaian tersendiri bagi kaum klerus. Cara memimpin Misa juga mulai saya koreksi. Saya mulai serius dengan apa yang digariskan oleh Gereja tentang Misa. Saya mulai memikirkan Latin yang adalah bahasa Gereja, bahasa liturgi. Misa FE menjawab tepat keinginan saya untuk setia terhadap Gereja dengan menghidupi ajarannya dan menaati hirarkinya, dengan kata lain mencintai tradisi Katolik. Jadi komitmen untuk mempersembahkan Misa FE lahir dari kemauan dan usaha untuk mencintai tradisi Katolik.
Semoga kita para imam semakin merendahkan diri di hadapan Tuhan dan menyadari bahwa tugas kita yang utama adalah mempersembahkan Kurban Misa, dan memikirkan mereka yang merindukan Misa FE, sehingga kita sudi belajar tentang Misa FE ini. Semoga.

Versus Deum (bagian pertama)


Versus Deum
(bagian pertama)
Dua minggu terakhir ini, akun FB-ku diserbu sudah lebih dari 100 orang untuk di-add, dan sebagian besar orang muda. Hampir semuanya adalah teman-teman dari almarhum Robby Sitohang, pemilik blog Indonesian Papist. Alasannya bisa saja karena FB adalah jaringan sosial, jadi teman mengundang teman, teman dari teman menjadi teman, dan seterusnya. Tetapi di balik alasan ini – FB sebagai jaringan sosial – ada juga alasan “orang berteman karena mempunyai satu kepentingan atau interest.” Beberapa dari mereka termasuk almarhum Robby secara eksplisit menyatakan keinginan untuk berteman, karena mereka melihat ada foto seorang imam yang sedang mempersembahkan Kurban Misa dalam Forma Extraordinaria (Misa FE) di cover FB saya. Misa FE, yang juga sering disebut Misa Tredentin, Misa Traditional, atau Misa Latin, semua istilah ini kurang tepat, yang merupakan kepentingan bersama itu.
Lewat tulisan ini, saya ingin merenungkan apa yang mendasari keinginan, kerinduan, atau lebih tepatnya kecintaan mereka akan Misa FE. Sering dikatakan bahwa Misa FE itu menarik karena khusyuk. Penggunaan Latin menambah suasana misteri. Imam dengan busana yang indah dan sikap badan yang hormat dan teratur membuat Misa FE agung. Penghormatan kepada Tubuh Kristus begitu besar dengan komuni di lidah sambil berlutut. Bagi perempuan, dengan memakai kerudung, mereka menyatakan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Namun di balik alasan-alasan ini ada alasan yang lebih mendalam yang sering tidak dikatakan. Alasan yang mendalam ini terangkum dalam kata versus Deum, yang saya jadikan judul dari permenungan ini.
Versus Deum tidak hanya menyatakan apa yang terjadi selama Misa FE, tetapi juga menyatakan pergulatan hidup dari yang mencintai Misa FE. Dalam Misa FE, baik imam maupun umat menghadap satu arah yaitu menghadap Tuhan yang ada di Salib, Tabernakel, dan Tubuh dan Darah Kristus. (Salah jika dikatakan imam membelakangi umat.) Jadi yang menjadi fokus adalah Tuhan, bukan imam, bukan umat. Itulah sebabnya Misa FE ini sering juga disebut Misa Versus Deum.
Dalam kehidupan sehari-hari, mereka yang mencintai Misa FE sungguhnya pada awalnya mau membuat hidup mereka semakin terarah kepada Tuhan. Dan inilah salah satu alasan mengapa mereka merindukan Misa FE. Mungkin ada peristiwa dalam hidup yang membawa mereka memikirkan ajaran Gereja secara serius. Demikian juga, bahkan terutama dalam hal berliturgi. Mereka mengerti axiom ini: lex orandi, lex credendi, lex vivendi. Mereka adalah rata-rata orang berpendidikan tinggi. Jadi mereka memperdalam iman mereka dengan membaca buku, browsing laman internet. Mereka pun dengan usaha sendiri mencari dan ikut retret dan pembinaan iman yang ditawarkan para imam dan awam yang sejalan dengan aspirasi mereka. Dalam usaha memperdalam iman dan usaha menghidupi ajaran Gereja, mereka berjumpa dengan Misa FE.
Tidak mengherankan bahwa cara hidup dari mereka yang mencintai Misa FE (awam maupun imam) lebih selaras dengan ajaran Gereja, terlebih dalam ajaran moral dan sakramentalnya. Mereka bahkan menjadi pembela ajaran Gereja atau “apologist.” Tentunya mereka bukan orang-orang sempurna. Sekali lagi, pertama-tama, bukan diri mereka yang menjadi fokus, tetapi Tuhan. Mereka mendahulukan Tuhan. Pengampunan Tuhan lebih penting dari pada dosa-dosa mereka. Itulah sebabnya mereka lebih sering berbicara tentang Sakramen Pengampunan atau Tobat dan menerimanya. Belas kasih Tuhan-lah yang mengubah mereka, memampukan mereka melawan segala cobaan setan. Doa-doa Gereja, seperti Ibadat Harian, Rosario, Jalan Salib, menjadi kesukaan mereka. Dan ada yang menginginkannya dalam Latin. Ini mereka lakukan supaya Tradisi Katolik yang mengajarkan hidup versus Deum sungguh mereka hidupi. Mereka tidak tertarik dengan meditasi, persekutuan rohani dari agama dan gereja lain. Mereka bangga dengan Tradisi Katolik. Mereka tahu inilah jalan versus Deum.
Semoga kerinduan mereka akan Misa FE dapat terpenuhi dengan adanya imam-imam yang juga mau menghidupi hidup versus Deum, sudi mempersembahkan Kurban Misa dalam Forma Ekstraordinaria. Semoga.

Umat tidak mengerti Misa tradisiona/Latin?


Lagi-lagi Misa Latin
Tentang Misa Forma Extraordinari, ada yang berkomentar di FB demikian:
“Misa tradisional [maksudnya FE] serasa milik imam saja, apalagi berbahasa Latin. Umat tidak terlibat. Tetapi memang terasa sangat sakral.”
Komentar seperti ini tidak hanya ada di kepala awam tetapi juga klerus. Karena tidak seluruhnya benar, dan kebenaran setengah lebih berbahaya. Maka dari itu saya memberikan sedikit, karena terbatas waktu dan keahlian, tanggapan.
Pertama, Misa baik FE (baca tradisional) maupun FO (baca sesudah Vatikan II), kedua-duanya bukan milik imam. FO-lah yang sering menjadi milik imam saja, karena imam sering merasa mempunyai kuasa dan hak untuk mengubah, menambah, dan menghilangkan sesuatu yang sudah diatur oleh rubrik. Imam yang menaati rubrik (READ BLACK, DO RED) entah itu rubrik 1962 (FE) maupun 1970 (FO) adalah imam yang taat, yang rendah hati, yang menyatakan bahwa Misa bukan miliknya, bukan milik umat juga. Misa bukan milik siapa-siapa. Misa menyangkut Kurban Yesus Kristus kepada Bapa.
Kedua, Latin adalah bahasa Gereja, dan bahasa liturgi. Jadi rubrik 1962 (FE) maupun 1970 (FO) kedua-duanya dalam Latin. Konsili Vatikan II tidak pernah bermaksud menghilangkan Latin sebagai bahasa liturgi.
Masih bagian dari kedua, masalah yang sering dilontarkan adalah “Latin tidak ada yang mengerti.” Saya juga tidak mengerti Latin. Saya tidak ke seminari menengah seperti kebanyakan imam, dan di seminari tinggi, saya tidak ada kesempatan belajar Latin. Jadi betul zero dalam Latin. Tapi mengapa saya berusaha (dan akhirnya bisa) untuk mempersembahkan Misa dalam Latin? Kita ambil contoh doa Bapa Kami. Saya hafal Pater Noster dan saya mengerti Pater Noster artinya Bapa Kami. Tetapi yang saya sulit jelaskan dan ini tidak perlu adalah mengapa harus pater bukan patris seperti dalam In nomine Patris... Yang penting adalah mengerti apa yang saya ucapkan. Hampir sebagian besar dari Misa kita tahu dan mengerti, dengan sendirinya memakai Latin, kita tetap akan mengerti.
Lantas bagaimana dengan bacaan dan doa yang berganti menurut tanggal liturgi? Bacaan-bacaan rubrik 1962 bisa dibaca dalam bahasa lain, sesudah dibaca dalam Latin. Sedangkan doa-doanya tersedia terjemahannya. Supaya saya mengerti bacaan dan doa yang saya ucapkan selama Misa, sehari sebelumnya saya sudah baca terjemahannya. Baik awam maupun imam masing-masing punya PR.
Ketiga, keterlibatan umat. Manakah yang dimaksud dengan keterlibatan umat? Dialog antara imam dan umat? Umat menyanyi? Umat ikut mengucapkan doa-doa yang seharusnya hanya imam yang ucapkan? Umat ikut gerakan imam seperti merentangkan tangan? Umat bergandengan tangan saat doa Bapa Kami? Homili yang membuat umat tertawa atau tanya jawab saat pembukaan dan homili? Ini bisa dianggap keterlibatan umat. Sekiranya Misa tidak dimengerti membangun relasi antara imam dengan umat dan antar umat, tetapi membangun relasi dengan Tuhan, partisipasi umat akan dimengerti lain. Kita datang ke Misa untuk berdoa dan terlebih menyembah Tuhan. Dalam Misa Forma Extraordinari demikian juga dengan Forma Ordinari, kita datang untuk mendengarkan Tuhan dan menyembah Tuhan. Itulah sebabnya kita lebih banyak diam. Diam ini bukan dengan pikiran melantur ke sana ke mari tetapi arahnya kepada Tuhan. Di awal Misa, baik FE maupun FO, saya selalu tekankan kedua forma, kita sudah mulai memohon kerahiman Tuhan, bersyukur atas pengampunan Tuhan. Ini yang harus mendominasi pikiran dan perasaan kita. Tentunya saat bacaan dan homili atau kotbah, kita mendengarkan imam. Lantas saat Canon atau Bagian Ekaristi/Doa Syukur Agung, pikiran, perasaan, dan terlebih sikap tubuh kita pada posisi menyembah. Seluruhnya diarahkan kepada Bapa, sebagaimana Yesus yang mempersembahkan diriNya. Tidak berlebihan jika awam saat Canon atau DSA berlutut menyembah Tuhan.
Keempat, terakhir, Misa traditional (FE) lebih sakral. Misa baik FE maupun FO kedua-duanya sakral. Tidak lebih tidak kurang. Soal perasaan kadang kala menipu. FO juga akan menyentuh perasaan bagi mereka yang merindukan keagungan, sekiranya FO dirayakan secara benar sesuai dengan rubrik. FO akan menjawab kehausan akan misteri, sekiranya dirayakan dengan benar. Awam capek dengan imam yang berkreativitas, yang main kuasa dalam liturgi. Karena banyaknya penyelewengan dalam Misa, semakin banyak awam yang merindukan Misa FE.
Semoga kita semakin menyembah Tuhan secara benar. Amin.

Misa dlm bhs Latin? Mengapa tdk.


Misa dalam bahasa Latin
Saya mengenal tiga bahasa asing. Saya mengambil waktu untuk itu, menguras tenaga, dan jumlah uang yang keluar tidak sedikit. Frustasi tidak terhitung. Akhirnya ya rasa bangga tentunya, meskipun masih melakukan kesalahan sana sini. Tetapi suatu hari saya mulai berpikir mengapa saya bersusah payah belajar bahasa asing, lantas bahasa Gereja, yaitu Latin, sedikit pun tidak berminat. Apalagi sebagai seorang imam. Malu dan mencoba mengambil tantangan ini. Saya mulai menghafal Signum sanctae crucis, Gloria Patri, Oratio dominica, dan Salutatio angelica. Ketika saya sudah hafal, saya doa rosario dalam Latin, kecuali “Aku Percaya”.
Menarik. Lantas Misa sendiri tanpa umat, saya pakai Latin untuk Gloria, Credo, Sanctus, Agnus Dei, kecuali Kyrie eleison (Yunani). Tentunya bagian-bagian ini mudah dimengerti karena saya sudah hafal bahasa Indonesianya.
Semakin menarik. Saya ingin Misa seluruhnya dalam Latin, karena kurang lebih saya hafal bagian-bagian ordinarinya dalam bahasa Indonesia. Ketika saya mencari Missale Romanum, saya jatuh pada Missale Romanum Editio Typica 1962. Loh, bukannya sudah tidak dipakai lagi? Atau hanya dipakai oleh sekelompok orang yang dicap traditionalist. Mulailah rasa ingin tahu seputar Misa Latin ini. Ternyata ada dokumen yang namanya Summorum Pontificum dari Paus Benediktus XVI (2007).
Jika saya ingin Misa seluruhnya dalam Latin, mengapa tidak sekalian mempersembahkan Misa yang masih dikenal oleh orang tuaku? Mereka sering menceritakan bahwa saya lahir ketika ada perubahan dalam berliturgi. Lantas kakak saya lahir ketika pastor masih membelakangi umat dalam Misa. (Maksud orang tua adalah ketika umat dan imam menghadap arah yang sama.) Ibu saya masih memakai “Kurban Misa” daripada “Perayaan Ekaristi.”
Boleh semangat, tetapi bagaimana menghadapi pekerjaan yang besar ini? Saya tahu baca Latin, tapi lebih banyak tidak mengerti. Mulai  menonton video Misa Latin yang ada di U-tube. Mulai bolak-balik Missale Romanum 1962. Struktur sepertinya saya kenal, karena kurang lebih sama dengan Missale Romanum 1970.
Sementara itu, Misa Forma Ordinari berjalan dengan Doa Syukur Agung 1 yang tidak lain tidak bukan adalah Canon Missae. Sesudah merasa nyaman dengan DSA 1 dalam Latin, saatnya pindah ke Misa Forma Ekstraordinari. Tahun liturgi 2014, hari minggu advent pertama (1 Des 2013) saya rayakan Misa Forma Ekstraordinari. Memakan waktu hampir satu setengah jam. Maklum saya perlu mengingat banyak hal yang harus dibuat. Jangan sampai Misa tidak sah. Pelan-pelan terbiasa, dan Misa yang terakhir saya persembahkan, waktunya menjadi singkat, sekitar 45 menit, tanpa homili tentunya.
Bagaimana dengan doa dan bacaan yang selalu berganti tiap hari Minggu? Sebelum Misa saya baca dulu terjemahannya, sehingga ketika merayakan Misa, saya tahu apa yang saya sedang baca.
Awalnya memang masih sibuk memikirkan apa yang harus dibuat selanjutnya. Tegang dan sering berhenti sejenak berpikir untuk memastikan apa yang selanjutnya. Tetapi pelan-pelan ada bagian yang menjadi otomatis, sehingga menjadi lebih tenang. Membuat Kurba Misa dalam bentuk ekstraordinaria membantu mengarahkan perhatian kepada Tuhan. Tidak ada kecendrungan untuk mengadakan pertunjukan. Canon atau DSA sungguh menjadi doa kepada Bapa, bukan sandiwara di hadapan umat. Ketika mengucapkan “Pada malam Ia diserahkan, sebelum menderita sengsara dengan rela, Yesus mengambil roti, mengucap syukur, lalu membagi-bagi roti itu dan memberikannya kepada para murid seraya berkata: ... [dst]), DSA 2” ada kecendungan untuk melakonkan bagian ini, sampai-sampai ada imam yang memang memecahkan hosti saat konsekrasi lantas mengulurkan hosti itu ke sana ke mari seperti menawarkannya untuk diterima. Demikian juga dengan piala. Padahal ini adalah doa kepada Bapa.
Mempersembahkan Kurban Misa, baik forma ordinaria maupun extraordinaria, sebagaimana yang telah digariskan oleh rubrik, READ BLACK, DO RED, tentunya akan agung dan indah.
Sebagai imam, Kurban Misa, menjadi pusat hidupku. Melihat pengorbanan yang saya lakukan (seperti belajar bertahun-tahun), dan juga dukungan yang luar biasa dari umat (air mata dan keringat), saya menjadi sadar dan serius dengan Kurban Misa. Merayakannya dalam Latin salah satu contoh dari kesadaran dan keseriusan itu.

Inkulturasi yang Salah


Merenungkan Perdebatan Seputar Artikel:
“Inkulturasi yang Salah: Imam Merayakan Misa Kudus Tanpa Busana Liturgi yang Lengkap”

Penulis artikel ini, K. Sitohang, dengan niat yang baik, mengingatkan umat Katolik, terutama para imamnya, untuk berliturgi yang benar, yang sesuai dengan peraturan liturgi yang telah digariskan oleh Gereja. Penulis menilai bahwa tidak sedikit penyelewengan dalam berliturgi atas nama inkulturasi. Artikel itu tentunya menuai tanggapan yang positif and negatif.
Keprihatinan yang dipaparkan oleh penulis patut mendapat perhatian serius terutama dari para imam. Amat disayangkan justru beberapa imam menilai artikel tersebut secara negatif. Saya salut kepada penulis yang mengangkat keprihatinan para awam terhadap kesalahan dan penyelewengan yang dilakukan oleh para imam yang berhubungan Kurban Misa. Imam yang tidak peduli dengan keprihatinan umat dalam berliturgi, bahkan mempertanyakan jika si penulis adalah ahli liturgi, adalah imam yang ber-“bau klerikalis-triumfalis.” Artinya imam itu yang menjadi penguasa dalam liturgi. Padahal Gereja telah menggariskan sejumlah tatanan liturgi yang mengikat baik para imam maupun awam.
Mengatasnamakan inkulturasi untuk mengantikan, menghilangkan, menambah, atau mengubah bagian-bagian dalam liturgi termasuk pakaian adalah kesalahan fatal. Bisa-bisa apa yang sedang dilakukan bukanlah liturgi, tetapi ibadat bersama atau pertunjukan rohani.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kata inkulturasi langsung dikaitkan dengan liturgi. Inkulturasi akhirnya berarti memberi corak dan warna budaya lokal pada liturgi. Padahal inkulturasi tidak dimengerti demikian, bahkan salah dimengerti. Ada unsur pertobatan dalam inkulturasi. Iman harus menjadi ragi dalam budaya, harus mengubah hati manusia, sehingga muncul budaya yang baru. Kita yang harus berubah, bukan ajaran Gereja yang harus berubah. Inkulturasi membutuhkan kerja keras dan tidak gampang. Contohnya bagaimana kita membudayakan hari Minggu sebagai hari Tuhan, membudayakan hidup murni dalam masyarakat yang sudah terpengaruh dengan kebebasan sex, atau membudayakan hidup jujur dalam masyarakat yang sudah tidak tahu malu berkorupsi bahkan senang memakai baju KPK. Sulit dan membutuhkan kerja keras. Mungkin karena itu beberapa imam dan juga awam lebih suka mengutak-atik liturgi dari pada mengutak-atik suara hati sesama.
Ada mungkin yang berpendapat: liturgi terlalu berbau Roma atau Eropa, asing untuk orang Indonesia. Mengapa liturgi terlalu asing bagi kita, padahal teknologi yang datang dari luar kita tidak permasalahkan? Saya curiga bahwa usaha untuk mengutak-atik liturgi atas nama inkulturasi adalah satu tanda ketidaktaatan, tanda pemberontakan. Bisa juga menjadi tanda kebodohan dan tanda main kuasa.
Ada lagi kesalahan dalam usaha memberi warna dan corak lokal pada liturgi yaitu pertanyaan tentang budaya lokal siapa yang menjadi rujukan? Ada dua hal yang perlu diketahui bahwa budaya itu berubah dan manusia itu semakin berbaur karena migrasi. Saya pernah melihat Misa gaya Jawa (pakaian, musik dan lagu), imamnya orang Batak, umat campuran dari berbagai etnis. Kita memperlakukan tidak adil satu sama lain. Mengapa kita mempersoalkan pakaian Misa yang sudah ditetapkan Gereja, tetapi kita dengan senang hati memakai jeans yang awalnya berasal dari luar misalnya?
Sekiranya Yesus lahir di Indonesia? Inilah pertanyaan yang disukai oleh mereka yang suka bereksperimen dalam liturgi. Mari kita membuatnya lebih menarik, bagaimana sekiranya Yesus lahir di Papua? Mungkin kita langsung berpikir untuk memakai koteka. Atau memakai ubi dan arak? Tetapi lebih dari pada itu. TIDAK ADA YANG NAMANYA KURBAN MISA SEKIRANYA YESUS LAHIR di Indonesia atau Papua. Kurban Misa semuanya berkaitan dengan hidup Yesus di Palestina/Israel sana, berkaitan dengan Paskah orang Israel, berkaitan dengan penyaliban Yesus. Sejarah Indonesia atau budaya Papua tidak mengenal unsur-unsur tersebut. Sekiranya Yesus lahir di Indonesia atau Papua mungkin akan ada ibadat, perayaan, upacara atau pertemuan yang amat berbeda dengan liturgi kita sekarang ini. Dan tentunya namanya bukan Kurban Misa. Jadi liturgi bukan sekedar cut and paste (terjemahan melantur: tambal sana sini), tetapi menyangkut seseorang yaitu TUHAN YESUS KRISTUS.
Litugi diberikan oleh Tuhan lewat Gereja, dengan sendirinya kita melakukannya sesuai dengan aturan Gereja. Litugi bukanlah milik kita. Kita tidak berhak mengutak-atiknya atas nama apapun dan siapapun. Kita mempunyai pemimpin yang berkuasa untuk itu, yaitu paus sebagai wakil Kristus.
Misa Kudus bukalah tempat bermain-main. Kita datang ke Misa bukan untuk menunjukkan atau menonton kehebatan kita dalam berinkulturasi. Kita datang ke Misa untuk menyembah Tuhan, untuk diselamatkan.
Lex Orandi, Lex Credendi (terjemahan bebas: liturgi membentuk iman) ditambah dengan READ BLACK, DO RED (baca yang tertulis hitam, lakukan yang tertulis merah) adalah dua axiom yang membantu kita untuk berliturgi dengan benar dan tentunya beriman yang benar.
Tuhan memberkati.