Inkulturasi yang Salah


Merenungkan Perdebatan Seputar Artikel:
“Inkulturasi yang Salah: Imam Merayakan Misa Kudus Tanpa Busana Liturgi yang Lengkap”

Penulis artikel ini, K. Sitohang, dengan niat yang baik, mengingatkan umat Katolik, terutama para imamnya, untuk berliturgi yang benar, yang sesuai dengan peraturan liturgi yang telah digariskan oleh Gereja. Penulis menilai bahwa tidak sedikit penyelewengan dalam berliturgi atas nama inkulturasi. Artikel itu tentunya menuai tanggapan yang positif and negatif.
Keprihatinan yang dipaparkan oleh penulis patut mendapat perhatian serius terutama dari para imam. Amat disayangkan justru beberapa imam menilai artikel tersebut secara negatif. Saya salut kepada penulis yang mengangkat keprihatinan para awam terhadap kesalahan dan penyelewengan yang dilakukan oleh para imam yang berhubungan Kurban Misa. Imam yang tidak peduli dengan keprihatinan umat dalam berliturgi, bahkan mempertanyakan jika si penulis adalah ahli liturgi, adalah imam yang ber-“bau klerikalis-triumfalis.” Artinya imam itu yang menjadi penguasa dalam liturgi. Padahal Gereja telah menggariskan sejumlah tatanan liturgi yang mengikat baik para imam maupun awam.
Mengatasnamakan inkulturasi untuk mengantikan, menghilangkan, menambah, atau mengubah bagian-bagian dalam liturgi termasuk pakaian adalah kesalahan fatal. Bisa-bisa apa yang sedang dilakukan bukanlah liturgi, tetapi ibadat bersama atau pertunjukan rohani.
Tidak dapat dipungkiri bahwa kata inkulturasi langsung dikaitkan dengan liturgi. Inkulturasi akhirnya berarti memberi corak dan warna budaya lokal pada liturgi. Padahal inkulturasi tidak dimengerti demikian, bahkan salah dimengerti. Ada unsur pertobatan dalam inkulturasi. Iman harus menjadi ragi dalam budaya, harus mengubah hati manusia, sehingga muncul budaya yang baru. Kita yang harus berubah, bukan ajaran Gereja yang harus berubah. Inkulturasi membutuhkan kerja keras dan tidak gampang. Contohnya bagaimana kita membudayakan hari Minggu sebagai hari Tuhan, membudayakan hidup murni dalam masyarakat yang sudah terpengaruh dengan kebebasan sex, atau membudayakan hidup jujur dalam masyarakat yang sudah tidak tahu malu berkorupsi bahkan senang memakai baju KPK. Sulit dan membutuhkan kerja keras. Mungkin karena itu beberapa imam dan juga awam lebih suka mengutak-atik liturgi dari pada mengutak-atik suara hati sesama.
Ada mungkin yang berpendapat: liturgi terlalu berbau Roma atau Eropa, asing untuk orang Indonesia. Mengapa liturgi terlalu asing bagi kita, padahal teknologi yang datang dari luar kita tidak permasalahkan? Saya curiga bahwa usaha untuk mengutak-atik liturgi atas nama inkulturasi adalah satu tanda ketidaktaatan, tanda pemberontakan. Bisa juga menjadi tanda kebodohan dan tanda main kuasa.
Ada lagi kesalahan dalam usaha memberi warna dan corak lokal pada liturgi yaitu pertanyaan tentang budaya lokal siapa yang menjadi rujukan? Ada dua hal yang perlu diketahui bahwa budaya itu berubah dan manusia itu semakin berbaur karena migrasi. Saya pernah melihat Misa gaya Jawa (pakaian, musik dan lagu), imamnya orang Batak, umat campuran dari berbagai etnis. Kita memperlakukan tidak adil satu sama lain. Mengapa kita mempersoalkan pakaian Misa yang sudah ditetapkan Gereja, tetapi kita dengan senang hati memakai jeans yang awalnya berasal dari luar misalnya?
Sekiranya Yesus lahir di Indonesia? Inilah pertanyaan yang disukai oleh mereka yang suka bereksperimen dalam liturgi. Mari kita membuatnya lebih menarik, bagaimana sekiranya Yesus lahir di Papua? Mungkin kita langsung berpikir untuk memakai koteka. Atau memakai ubi dan arak? Tetapi lebih dari pada itu. TIDAK ADA YANG NAMANYA KURBAN MISA SEKIRANYA YESUS LAHIR di Indonesia atau Papua. Kurban Misa semuanya berkaitan dengan hidup Yesus di Palestina/Israel sana, berkaitan dengan Paskah orang Israel, berkaitan dengan penyaliban Yesus. Sejarah Indonesia atau budaya Papua tidak mengenal unsur-unsur tersebut. Sekiranya Yesus lahir di Indonesia atau Papua mungkin akan ada ibadat, perayaan, upacara atau pertemuan yang amat berbeda dengan liturgi kita sekarang ini. Dan tentunya namanya bukan Kurban Misa. Jadi liturgi bukan sekedar cut and paste (terjemahan melantur: tambal sana sini), tetapi menyangkut seseorang yaitu TUHAN YESUS KRISTUS.
Litugi diberikan oleh Tuhan lewat Gereja, dengan sendirinya kita melakukannya sesuai dengan aturan Gereja. Litugi bukanlah milik kita. Kita tidak berhak mengutak-atiknya atas nama apapun dan siapapun. Kita mempunyai pemimpin yang berkuasa untuk itu, yaitu paus sebagai wakil Kristus.
Misa Kudus bukalah tempat bermain-main. Kita datang ke Misa bukan untuk menunjukkan atau menonton kehebatan kita dalam berinkulturasi. Kita datang ke Misa untuk menyembah Tuhan, untuk diselamatkan.
Lex Orandi, Lex Credendi (terjemahan bebas: liturgi membentuk iman) ditambah dengan READ BLACK, DO RED (baca yang tertulis hitam, lakukan yang tertulis merah) adalah dua axiom yang membantu kita untuk berliturgi dengan benar dan tentunya beriman yang benar.
Tuhan memberkati.

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.