hidup murni


Hidup Murni
Meskipun saya ini seorang pendosa, jatuh bangun dalam dosa, selalu ada keinginan untuk kembali mengarahkan hidup kepada Tuhan, selalu ada keinginan untuk kembali hidup murni. Bukankah keinginan-keinginan seperti ini adalah tawaran Tuhan untuk menerima pengampunan dari pada-Nya, untuk mendapatkan belas kasih-Nya? Tetapi dalam perjalanan pertobatanku itu, banyak pertanyaan yang membuat saya ragu tentang hidup murni, yang membuat saya jatuh kembali dalam dosa.
Pertanyaan-pertanyaan saya itu dirangkum baik oleh Matt Fradd dalam artikelnya “Metallica and Holiness” (Musik Metalis dan Hidup Suci) di [http://mattfradd.com/metallica-and-holiness/]. Saya bahasakan ulang: banyak orang percaya bahwa hidup murni berarti terkurung, kurang bebas, tidak ada kenikmatan, banyak peraturan. Akhirnya mereka berpikir bahwa jalan ke surga itu ibarat neraka, dan sebaliknya jalan ke neraka itu ibarat surga.
Kadangkala saya berkelakar: dosa itu enak. Di balik ini tersembunyi bahwa hidup murni itu tidak ada kenikmatan, tidak ada kebebasan, tidak ada kegembiraan. Apalagi jika dikaitkan dengan sex. Dan memang hidup murni berkaitan dengan sex.
Bagaimana Setan akan berbicara tentang hidup murni? Setan akan mengatakan: hidup murni berarti tidak boleh melakukan sex. Setan pintar memutar balikkan apa yang Tuhan kehendaki, dan dia ingin kita berdebat dengannya. Jika kita sudah mulai berdebat dengan Setan, kita sudah bisa tebak ke mana kita akan dibawa.
Tuhan menghendaki manusia hidup gembira, menikmati hidup ini sepuasnya, termasuk sex. [Sex di sini saya maksudkan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sex.] Tetapi Tuhan memberi batasan yaitu sex hanya boleh dalam perkawinan yang sah. Melakukan hubungan atau kegiatan sex di luar perkawinan yang sah adalah dosa. Batasan inilah yang menjadi perdebatan. Setan akan meyakinkan kita bahwa hidup murni atau hubungan sex hanya dalam perkawinan sah adalah cara Tuhan membatasi kita untuk menikmati sex. Kita akan semakin didorong untuk menerima bahwa sex adalah segala-galanya. Tidak bebas dalam soal sex, berarti tidak ada kebebasan dalam hidup. Bukankah perjuangan tentang kebebasan selalu berkaitan dengan sex tanpa aturan? Bukankah sex bebas menjadi lambang kebebasan manusia secara khusus kaum perempuan? Setan akan meyakinkan kita bahwa sex itu adalah hak manusia. Tidakkah kita mendengar bagaimana kaum gay dan lesbian menuntut sodomi sebagai hak asasi manusia?
Supaya kita menghentikan debat dengan Setan, kita perlu bertanya mengapa Tuhan membatasi, memberi peraturan. Jangan kita masuk dalam apa yang dikatakan oleh Setan, tetapi apa yang Tuhan maksudkan. Mari kita melihat kata “membatasi.” Membatasi berarti memberi batasan. Memberi batasan berarti memberi arti/makna, mendefinisikan. Membatasi tidak selalu berarti melarang, tetapi memberi arti atau makna. Dengan demikian Tuhan membatasi sex dalam perkawinan yang sah, itu berarti di mata Tuhan sex itu mempunyai makna. Sex mengungkapkan yang terdalam dari manusia untuk bersatu, untuk ambil bagian dalam karya perciptaan yang Tuhan telah mulai. Membatasi bisa juga berarti melindungi. Sex itu suci dan Tuhan ingin sex itu tetap suci, maka dari itu sex hanya bisa dilakukan dalam perkawinan yang sah.
Setan akan meyakinkan kita bahwa sex itu adalah hak kita. Jauhkan diri dari pikiran seperti itu dengan memikirkan bahwa sex itu adalah pemberian Tuhan. Jika sex itu dari Tuhan berarti hanya Dia yang tahu aturan mainnya yang benar. Dan aturannya sederhana: sex hanya untuk suami istri yang menikah secara sah. Sex di luar perkawinan banyak bahayanya. Tidakkah kita mendengar tentang penyakit kelamin yang mematikan? Mungkin kita berpikir, tetapi ada kondom. Kondom selain tidak 100% aman, juga menguras dompet. Ada banyak kebohongan di balik kondom. Kondom selain mempromosikan moral yang bertentangan dengan ajaran Gereja, juga soal bisnis dan kontrol kebebasan manusia.
Jika Setan tidak berhasil, ia akan mencoba yang kelihatan aman dan tidak merugikan orang lain. Masturbasi. Dia akan meyakinkan kita dengan fakta statistik dan alasan psikologis. Semua laki-laki melakukan masturbasi semenjak masa puber. Tetapi apakah kehendak Tuhan dibatalkan dengan statistik, dengan jumlah orang melakukannya? Apakah kehendak Tuhan tidak berlaku karena semua orang melakukannya atau pernah melakukannya? Banyak ahli psikologi yang menulis buku bahwa masturbasi adalah sesuatu yang normal, bagian dari perkembangan hidup sexualitas, untuk mengurangi rasa bersalah. Tetapi jika mereka berusaha mengurangi rasa bersalah yang ditimbulkan oleh masturbasi, tidakkah itu berarti bahwa masturbasi memang menimbulkan masalah? Mengapa kita menguras tenaga, waktu, bahkan uang untuk membenarkan diri, melepaskan diri dari rasa salah karena masturbasi? Supaya jangan ada masalah, jangan melakukan masturbasi. Sepertinya masyarakat kita lebih diarahkan pada bagaimana bermasturbasi tanpa menimbulkan rasa salah, dari pada bagaimana mengontrol diri yang membangun karakter dan rasa percaya diri. Jika Tuhan lewat Gereja-Nya mengatakan bahwa masturbasi itu dosa, tentu ada maksudnya. Tuhan ingin kita bebas dari masalah.
Pornografi adalah bisnis di mana Setan banyak berhasil. Jika tidak pornografi, Setan akan menggunakan kata “erotik.” Selain waktu, tenaga dan uang terkuras, pandangan kita tentang sex tidak lagi seperti yang Tuhan inginkan. Kita akan mempergunakan orang lain sebagai objek pemuasan hawa nafsu. Pornografi tidak memberikan kepuasan, karena sebenarnya bukan sex. Pornografi adalah kebohongan terbesar dan ilusi yang sungguh mengecewakan. Jangan pernah masuk karena sulit keluar. Kita menjadi budak dari hawa nafsu kita sendiri dan dari keserakahan mereka yang membuat pornografi itu. Pornografi adalah bisnis yang mengguntungkan bagi pembuatnya.
Jika tidak mau bermasturbasi atau mengkonsumsi pornografi, tawaran Setan yang lebih sering adalah berpikir cabul, masuk dalam percakapan cabul, suka lelucon cabul. Inilah awal dari dosa-dosa lain yang berhubungan dengan sex. Yesus tidak sungkan-sungkan mengatakan bahwa hanya dengan memandang dan menginginkan seseorang untuk melakukan sex, kita sudah berbuat cabul dalam pikiran kita. Berpikir cabul adalah dosa. Jadi kita perlu mengontrol pikiran kita. Karena dari situlah awal dosa-dosa lain. Jika kita mampu mengontrol pikiran dan hawa nafsu kita, kita tidak akan mudah memberikan uang kita kepada pebisnis pornografi, kondom, pelacuran; kita tidak akan mudah menghinakan dan merusak tubuh kita sendiri dan orang lain; kita tidak akan ketularan penyakit kelamin.
Tapi sejauh ini kita melihat hal yang berbahaya. Belum melihat nikmatnya hidup murni itu. Kita akan melihat hidup itu lebih dari sex, tidak sebatas sex. Kenikmatan itu tidak sebatas sex. Tuhan telah menyediakan banyak kemungkinan bagaimana kita bisa menikmati hidup ini. Kita menjadi lebih kreatif dalam mencari kemungkinan yang ada itu dalam batasan-batasan yang sudah ditentukan. Bukankah orang menjadi lebih kreatif ketika sarana dan prasarana terbatas? Kita akan melihat orang lain lebih dari pada alat kelamin mereka. Hidup semakin nikmat, karena tidak terbatas pada satu sumber saja.
Yang lebih penting lagi adalah hubungan kita dengan Tuhan semakin mendalam. Pikiran kita bersih. Perasaan kita bersih. Kita merasakan keutuhan. Ada kebebasan, bebas dari egoisme, bebas dari perbudakan, bebas dari penyakit, bebas dari ketergantungan, dan yang lebih penting lagi bebas dari dosa. Menarik bukan? Tidak membosankan.
Menutup: Setan tidak akan menyerah. Semakin kita berkembang dalam hidup murni, Setan semakin berpikir bagaimana supaya kita menyerah. Jika perlu ia akan memanggil teman-temannya. Waspadalah selalu dengan doa dan Sakramen Pengakuan.

Katolik? Lebih dari berbuat baik.


Semua ajaran agama itu baik?
Hidup dalam masyarakat majemuk, hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, kita sering mendengar pernyataan-pernyataan yang kedengarannya toleran, baik, menghargai, atau universal, tetapi jika dipikirkan lebih dalam ternyata tidak membawa kita kepada kebenaran apapun. Salah satu contoh: semua agama mengajarkan kebaikan atau kasih, penganutnyalah yang menyalahgunakan ajaran agama mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Kalimat saya ini kurang lebih merangkum apa yang ditulis di FB:
Pernahkah agama Katolik mengajarkan umatnya untuk membenci sesama? Jawabannya adalah tidak benar. Pernahkah agama lain mengajarkan untuk membenci sesama? Jawabannya adalah tidak pernah. Jadi kalau seseorang membenci karena agamanya, itu bukan karena agamanya yang mengajarkan untuk membenci. Bukan agamanya yang sesat. Tapi manusianya yang sesat.
Ada dua hal yang dibedakan dalam pernyataan di atas: 1) ajaran agama itu baik, dan 2) pemeluk agama itu jahat karena ia tidak melaksanakan ajaran agamanya.
Keberatan pertama:
Ada apa dibalik pernyataan “ajaran agama itu baik”? Ajaran agama itu baik karena berasal dari Tuhan.
Ada agama yang tidak mempunyai konsep tentang Tuhan, misalnya Buddhism. Ini membuat kita juga berpikir bahwa ada sistem pemikiran filosofi yang juga mengajarkan tentang kebaikan tanpa mempersoalkan apakah Tuhan itu ada atau tidak ada. Pernyataan “semua agama mengajarkan kebaikan” hanya merugikan agama itu sendiri. Apakah sistem pemikiran filosofi juga akan dimasukkan dalam kategori agama atau agama tidak lebih dari sistem pemikiran filosofi? Maju kena, mundur kena. Ini salah satu permasalahan yang dihadapi jika kita menjadikan kebaikan sebagai pusat dari agama.
Yang mengajarkan kebaikan itu bukan hanya agama. Yang tidak beragama pun bisa berbuat baik. Tetapi untuk kita sebagai Katolik intinya bukan di situ, meskipun kita dituntut juga untuk berbuat baik. (Lihat keberatan ketiga.)
Keberatan kedua:
Jika kita mau menerima bahwa semua agama mengajarkan kasih atau kebaikan, kesulitan yang akan dihadapi setiap agama adalah siapakah yang akan mendefinisikan kasih atau kebaikan itu? Jika kita berikan kepada masing-masing agama untuk mendefinisikannya, tentunya bukan hanya mendapatkan pendapat yang berbeda tetapi bertolak belakang. Supaya aman, ada yang jatuh dalam relativisme: baik menurutmu, belum tentu baik menurutku. Dalam relativisme, jangan kita berharap semua orang benar, karena kebenaran kita akan dinilai oleh mereka yang menganut sistem pemikiran filosofi yang namanya relativisme dan indifferentisme.
Sekali lagi tidak ada gunanya mengatakan bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan.
Keberatan ketiga:
Gereja Katolik pertama-tama bukan soal ajaran kebaikan atau bagaimana mengasihi satu sama lain, tetapi  pada SESEORANG. Dan seseorang ini adalah YESUS KRISTUS. Dalam Gereja Katolik kita bertemu dengan seseorang yang menyelamatkan kita yaitu YESUS KRISTUS. Jika kita akhirnya mengasihi satu sama lain, itu karena Tuhan lebih dahulu mengasihi kita. Bahkan kita mampu mengasihi mereka yang membenci kita, karena ketika kita masih berdosa, Tuhan telah mengasihi kita. Kalau hanya sekedar berbuat baik atau mengasihi, orang yang tidak mengenal Tuhan pun bisa. Tetapi orang yang mengenal BAPA yang telah dinyatakan oleh PUTRA yang telah melimpahkan kuasa-NYA kepada GEREJANYA, akan berfokus pada kasih Tuhan. Lebih lanjut lagi, konsekuensi dari kasih itu adalah pengorbanan, penderitaan. Kita harus berkorban, menderita? Mungkin, tetapi letak penekanannya kita bukan pada diri kita, tetapi pada inkarnasi, salib, dan kebangkitan yang intinya: Tuhan ikut merasakan apa yang manusia rasakan, supaya kita ikut bangkit bersama Dia.
Meskipun singkat dan kurang memadai, masih perlu pendalaman, apa yang saya uraikan di atas tentang pemahaman kasih dari sudut pandang iman Katolik, yang saya mau katakan adalah bahwa iman Katolik itu mengajarkan hal yang berbeda dengan agama-agama lain. Iman Katolik itu intinya tentang SESEORANG, bukan sesuatu.
Keberatan keempat:
Jika seseorang melakukan kejahatan dari mana dia dapatkan? Jika dikatakan dari si Setan, ada agama yang mengajarkan bahwa itu hanyalah ketidaktahuan, belum mengerti (ignorance). Kita akan kembali ke persoalan apa itu “kejahatan” dan siapa yang akan mendefinisikannya?
Keberatan kelima:
Apakah ajaran agama sama sekali lepas dari campur tangan manusia? Pemahaman wahyu dan campur tangan Tuhan itu dalam Gereja Katolik berbeda dengan agama-agama lainnya.
Kesimpulan: sebagai orang Katolik, kita tidak hanya mempertanggungjawabkan iman kita di hadapan pemeluk agama lain tetapi juga di hadapan mereka yang menganut paham relativisme, indifferentisme, sekularisme, sinkritisme. Mengatakan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, mungkin kita bukan Katolik bahkan bukan orang beragama.

Menggugat EENS (3): semua agama mengajarkan kebaikan!


Menggugat
Extra Ecclesiam Nulla Salus:
(3) Semua agama mengajarkan kebaikan!
Bagaimana mungkin orang-orang yang di luar Gereja Katolik yang hidupnya baik bahkan lebih baik dari sebagian besar orang-orang Katolik, tidak selamat hanya karena mereka bukan Katolik? Pertanyaan ini sering dilontarkan untuk menggugat ajaran Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS = di luar Gereja tidak ada keselamatan).
Apakah yang dimaksud dengan hidup baik? Secara moral? Jika itu diartikan hidup baik secara moral, pertanyaan berikutnya: moral menurut siapa atau menurut agama apa? Baiklah kita mengambil pendapat yang menyatakan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Contoh konkritnya semua mengajarkan supaya mencintai satu sama lain, menghargai satu sama lain, membantu satu sama lain, menolong orang miskin dan mereka yang ada dalam kesusahan dan penderitaan, beramal, tidak membunuh.... tapi tunggu dulu. Kita berhenti di “tidak membunuh.” Apakah semua agama mengerti hal yang sama? Mungkin jawaban yang kita bisa dapatkan: jika terjadi teroris, perang, aborsi, hukuman mati, penindasan, diskriminasi atas nama agama, itu karena salah tafsir atau salah mengerti apa yang diajarkan oleh agama. Meskipun demikian, perbedaan pengertian sudah menyatakan bahwa yang namanya hidup baik tergantung pada ajaran agama masing-masing. Dalam beberapa hal moral yang diajarkan oleh agama lain bertentangan dengan Gereja Katolik.
Jika kita membandingkan seorang Katolik yang koruptor dengan seorang pengikut Buddha yang selalu membayar pajak sesuai dengan aturan dan tepat waktu, mau tidak mau kita akan berpikir mana mungkin pemeluk Buddha ini tidak bisa selamat hanya karena ia bukan anggota Gereja Katolik? Beberapa keberatan: 1) apakah pengikut Buddha ini mau selamat seperti yang Gereja Katolik ajarkan? 2) lepas dari perbedaan pengertian akan keselamatan atau akhir hidup manusia, apakah kita sudah melihat seluruh kehidupan dari pengikut Buddha ini sehingga kita menyimpulkan bahwa ia baik? 3) apakah kita mengenal agama Buddha, sehingga kita tahu bagaimana hidup baik menurut agama Buddha itu? 4) mengapa kita membandingkan orang Katolik yang koruptor dengan pengikut Buddha yang tidak koruptor? Cara membandingkan seperti ini adalah strategi untuk merelativisasi atau menggugat sebuah kebenaran.
Kita tidak bisa menilai keselamatan seseorang baik yang Katolik, terutama yang beragama lain dari hidup moralnya karena kita tidak tahu seluruh hidupnya, setiap agama mengajarkan hidup moral yang berbeda, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran moral Katolik, dan kita tidak bisa tahu kecuali dia sendiri sejauh mana dia bergantung pada belas kasih Tuhan. Mungkin dia menginginkan akhir hidup yang berbeda dengan yang ditawarkan oleh Tuhan lewat Gereja-Nya.

Menggugat EENS: 2. Bukan agama, tapi Tuhan yang menyelamatkan.


Menggugat
Extra Ecclesiam Nulla Salus:
(2) Bukan agama, tapi Tuhan yang menyelamatkan!
Pernyataan bahwa Tuhan yang menyelamatkan, bukan agama, dapat berarti bahwa orang selamat bukan karena agama yang dianutnya, tetapi semata-mata karena belas kasih Tuhan. Itu juga berarti bahwa orang selamat bukan karena menjadi anggota Gereja Katolik tetapi karena semata-mata belas kasih Tuhan. Berangkat dari pemahaman seperti ini, bagi sebagian orang, ajaran Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS = di luar Gereja tidak ada keselamatan) tidak mempunyai makna lagi, bahkan tidak berlaku lagi.
Kita mulai dari pernyataan: orang selamat semata-mata karena belas kasih Tuhan. Justru dalam Gereja Katolik-lah pernyataan ini terlaksana secara penuh dan utuh. Orang-orang Katolik selamat semata-mata karena belas kasih Tuhan, bukan karena usaha mereka. Jelas orang-orang Katolik berusaha menaati perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, tetapi tidak selalu setia. Mereka sering jatuh dalam dosa. Tidak setia atau jatuh dalam dosa berarti hubungan dengan Tuhan tergangu bahkan terputus. Mereka tidak bisa menghapus dosa mereka dengan usaha mereka sendiri seperti perbuatan baik. Jadi mereka sungguh mengharapkan belas kasih Tuhan dan mereka mendapatkan belas kasih Tuhan itu lewat sakramen-sakramen yang Tuhan sendiri telah berikan kepada Gereja-Nya.
Tuhan memang yang menyelamatkan, tetapi bagaimana Tuhan menyelamatkan? Itulah yang harus dipertanyakan oleh mereka yang menentang EENS. Tuhan menyelamatkan manusia bukan sebuah ide, tetapi kenyataan yang Tuhan sudah tawarkan lewat Gereja-Nya. Itulah sebabnya rumusan positif dari EENS itu adalah bahwa untuk selamat, manusia memerlukan Gereja.

Menggugat EENS: setiap agama saling melengkapi!


Menggugat Extra Ecclesiam Nulla Salus:
(1) setiap agama saling melengkapi!
Mereka yang berpikir bahwa tidak ada agama yang memiliki kebenaran seluruhnya, juga mempertanyakan Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS = di luar Gereja tidak ada keselamatan). Jika tidak ada agama yang memiliki kebenaran seluruhnya, itu juga berarti bahwa Gereja Katolik tidak bisa mengklaim memiliki kebenaran seluruhnya. Dengan demikian Gereja Katolik tidak bisa lagi menyatakan diri sebagai satu-satunya sarana keselamatan. Orang lain bisa selamat lewat agamanya masing-masing tanpa harus menjadi Katolik.
Dari asumsi bahwa tidak ada agama yang memiliki kebenaran seluruhnya, bisa ditarik kesimpulan bahwa setiap agama saling melengkapi. Konsekuensinya adalah Gereja Katolik membutuhkan agama lain. Pertanyaan: apa yang kurang di Gereja Katolik sehingga membutuhkan agama lain? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita perlu mempertanyakan asumsi yang menyatakan bahwa tidak ada agama yang memiliki kebenaran seluruhnya.
Apakah yang dimaksud dengan kebenaran di sini? Ajaran agama? Jika kebenaran yang dimaksudkan di sini ajaran setiap agama, yang jelas dari pengamatan sehari-hari, setiap agama tidak hanya mengajarkan hal yang berbeda tetapi juga hal-hal yang berlawanan dengan agama lain. Manakah yang benar agama Islam yang mengajarkan bahwa babi dan minuman alkohol adalah haram atau agama Kristen yang mengajarkan bahwa Kerajaan Surga bukanlah soal makan dan minum? Manakah yang salah agama Kristen yang mengajarkan bahwa manusia itu lahir dan mati sekali saja atau agama Hindu yang mengajarkan tentang reinkarnasi? Bagaimana bisa ajaran setiap agama saling melengkapi satu sama lain kalau ada ajaran-ajaran yang saling bertolak belakang. Dengan demikian, jika kebenaran yang dimaksudkan adalah ajaran agama, adalah salah mengatakan bahwa setiap agama saling melengkapi karena tidak ada agama yang memiliki kebenaran seluruhnya.
Apa yang kurang dalam Gereja Katolik sehingga membutuhkan agama lain? Jika itu menyangkut keselamatan, jawabannya: Gereja Katolik tidak membutuhkan agama lain. Kedengaran sombong, picik, intoleran? Saya kita tuduhan seperti itu hanya karena orang tidak nyaman mendengar EENS, ragu dengan keselamatannya sendiri, tapi yakin bahwa orang lain bisa selamat, atau menderita sindrom “rumput tetangga lebih hijau.” EENS sepertinya hanya menyangkut Gereja Katolik. Padahal EENS menyangkut Tuhan yang menawarkan keselamatan kepada setiap manusia dengan mengorbankan PutraNya sebagai pemulih atas dosa-dosa mereka. Karya penyelamatan ini bukan hanya ide atau peristiwa masa lampau, tetapi nyata dalam Gereja Katolik lewat pelayanan sakramen-sakramen. Hanya dalam Gereja Katolik, Tuhan menyediakan sarana keselamatan ini.
Kita ambil contoh Sakramen Pengakuan yang mana tidak ada dalam agama lain, selain dalam Gereja Katolik. Jika keselamatan itu menyangkut pengampunan atas dosa-dosa, maka kesimpulannya adalah hanya dalam Gereja Katolik kita bisa selamat, karena hanya dalam Gereja Katolik ada Sakramen Pengakuan. Tentunya ada protes: Tuhan bisa mengampuni manusia di luar Sakramen Pengakuan. Bagaimana kamu tahu bahwa kamu sudah diampuni? Jangan lari ke argumen: Yesus sudah mati bagi dosa-dosa kita. Pernyataan bahwa Yesus mati bagi dosa manusia adalah tawaran yang membutuhkan keputusan pribadi. Kapan kamu melakukan keputusan pribadi itu dan kapan secara pribadi pula Tuhan mengatakan kepadamu: Aku mengampunimu?
Setiap agama saling melengkapi? Tidak dalam hal keselamatan. Tetapi untuk membersihkan selokan, membangun jalan raya, penghijauan, pengentasan kemiskinan, pokoknya urusan di dunia ini setiap orang membutuhkan satu sama lain.