Jangan
macam-macam dengan imam!
Mungkin kita pernah
mendengar atau membaca santo Yohanes Krisostom, seorang bapa Gereja, yang
mengatakan:
Jalan menuju neraka ditaburi
dengan tengkorak para imam yang error, dengan uskup sebagai pos tanda mereka.
Dan juga yang ini:
Menurutku tidak banyak uskup
yang diselamatkan, tetapi banyak yang binasa.
Yang menarik perhatian
adalah bahwa kutipan seperti itu bisa menjadi satu alasan kuat untuk mengkritik
atau menegur para imam, secara halusnya: mengingatkan mereka supaya bertobat.
Bahkan bisa dipakai untuk melawan para imam. Mereka yang memang sudah marah dan
benci pada imam, tanpa rasa hormat dan takut sedikit pun menelanjangi kejahatan
dan dosa imam di depan umum. Memang tidak sedikit kejahatan dan dosa para imam
sudah menjadi berita dan sensasi. Tidak ada yang perlu ditutup-tutupi. Hanya
saja yang menjadi pertanyaan: mengapa kita yang Katolik justru menambah atau
semakin mengumbar kelemahan dan dosa dari para imam kita sendiri? Tentunya
sebagian besar orang-orang Katolik, baik awam maupun imam, jarang mengambil
tindakan seperti itu. Mereka lebih mengambil jalan yang dilandasi rasa hormat
dan cinta. Karena mereka ingin imam mereka tidak masuk neraka, dengan penuh
kerendahan hati dan cinta, mereka menegur imam mereka untuk berubah atau
bertobat.
Judul tulisan ini
merangkum apa yang hendak Santo Yohanes Krisostom katakan terhadap mereka yang
hendak mengkritik, menegur dan menjelek-jelekan para imam. Dia yang mengatakan
bahwa di antara penghuni neraka ada imam bahkan uskup juga mengingatkan keras
untuk tidak berbuat macam-macam terhadap imam termasuk mengkritik, menegur atau
mengingatkan. Tulisan santo Krisostom yang kita akan renungkan adalah homilinya
atas 2 Timotius yang dapat diundu di <hnnp://www.newadvent.org/fathers/230702.htm>
[ganti hnnp menjadi http].
Secara umum kita sepakat
bahwa menjelek-jelekan, menggosipkan, menghina, mempermalukan, atau mendera
seorang imam adalah perbuatan yang tidak dapat diterima dan kita tidak akan
melakukannya. Namun kita mungkin tidak sepakat dalam soal menegur, mengoreksi,
dan mengkritik imam. Setelah membaca dan merenungkan tulisan St. Yohanes
Krisostom kurang lebih setahun yang lalu, bagian dari pertobatan saya, saya
percaya bahwa kita tidak mempunyai hak dan kewajiban menegur, mengoreksi, dan
mengkritik imam. Atau sebagai imam saya tidak mempunyai hak dan kewajiban
menegur, mengoreksi, dan mengkritik sesama imam. Kita bisa saja setuju tetapi ada
‘tetapi’-nya. Ada tawar-menawar.
Sebelum melanjutkan
tulisan ini, dengan rendah hati saya mengakui, bahwa apa yang saya pikirkan
masih jauh dari pelaksanaan. Saya masih jatuh bangun dalam dosa karena
mengkritik, menceritakan buruk, dan merendahkan sesama imam.
Mengapa st. Yohanes
Krisostom mengingatkan kita secara keras untuk tidak macam-macam terhadap imam?
Dia berangkat dari pertanyaan: siapakah imam itu sebenarnya? Imam itu adalah
utusan Tuhan, adalah orang yang diurapi Tuhan. Jika kita merendahkan imam, kita
merendahkan Tuhan yang mengurapi dia. Lebih lanjut st. Krisostom menyatakan
bahwa jika kita tidak percaya bahwa dia diurapi Tuhan, semua harapan kita akan
sia-sia adanya. Karena merekalah, kita menjadi orang Kristen. Dialah yang
membaptis kita, dialah yang memberkati kita, dialah yang memungkinkan kita
menerima Tubuh Kristus, dan dialah yang berkuasa melepaskan kita dari dosa-dosa
kita.
Alasan lain, dan ini
yang menjadi perhatian kita, mengapa st. Yohanes Krisostom mengingatkan kita
untuk tidak mengoreksi, menegur dan mengkritik imam adalah demi kebaikan dan
keselamatan kita sendiri. Jangan sekali-kali kita melampaui garis pemisah
antara imam dan awam. Jika kita berani melakukannya, kita akan binasa seperti
orang-orang Israel yang hendak menyerang dan tidak puas dengan imam-imam-Nya
yaitu Harun dan anak-anaknya (Bilangan 16).
St. Yohanes Krisostom
sudah mengantisipasi keberatan kita yang terutama yaitu imam yang kelakuannya
buruk. Apakah Tuhan juga dan masih berkarya lewat mereka? Tanpa ragu sedikitpun
St. Krisostom menjawab: ya. Menurutnya jika Tuhan saja mau berbicara dan
berkarya lewat seekor keledai dan pemiliknya Bileam yang jahat itu demi
keselamatan umat-Nya (Bilangan 22-23), apalagi lewat seorang imam yang Ia
sendiri urapi.
Mungkin kita mengangkat
suara demikian: bukankah seharusnya seorang imam yang harus memberi teladan?
Sebelum menanggapi panjang lebar keberatan ini, St. Krisostom memberikan satu
prinsip: sekiranya seseorang mengajarkan ajaran sesat, meskipun ia adalah
malaekat, jangan menaati dia, tetapi jika dia mengajarkan kebenaran, jangan
perhatikan cara hidupnya, tetapi kata-katanya. Jadi jangan kita sibuk mencari
kekurangan, kesalahan, keburukan, kejahatan, atau dosa dari imam. Jika imam
melakukan kesalahan entah itu dalam mengajar maupun perbuatannya, jangan kita
mulai berpikir untuk mengambil inisiatif untuk mengoreksi. Terlebih dahulu kita
memeriksa diri. Yang mendasari keinginan kita untuk mengoreksi adalah karena
kita lebih tahu dan lebih baik. Apakah ini memberikan saya kuasa untuk
mengoreksi kesalahan imam? Tidak, menurut St. Krisostom, karena kita bukanlah
guru, pemimpin, atau pendamping mereka. Ia dengan keras mengatakan: kita ini
adalah bawahan, bukan pemimpin. Kita ini domba, bukan gembala. Jangan sampai
karena kita penasaran tentang gembala atau imam kita, kita berdosa.
Ada kesombongan di balik
pernyataan bahwa imam harus lebih tahu dan lebih baik dari kita dan di balik
keinginan kita untuk mengoreksi dan menyelamatkan imam dari api neraka. Sekali
lagi St. Krisostom menekankan kepada kita untuk memeriksa diri. Jika memang
kita lebih tahu dan lebih baik, simpanlah itu. Bukankah Yesus mengingatkan kita
untuk tidak mengumbar kebenaran dan kebaikan kita? Biarlah Bapa sendiri di
surga yang tahu. Jangan sampai kita seperti orang Farisi yang dikecam oleh
Yesus. Kita tidak mendapatkan apa-apa dari Bapa sendiri dalam mengoreksi seorang
imam, karena pahalanya sudah kita dapatkan di dunia ini, yaitu puas dan bangga
pada diri sendiri yang lebih tahu dan lebih baik. Tetapi jika kita rupanya
tidak lebih tahu dan lebih baik dari imam, kita dengan rendah hati mengakui
bahwa kita masih punya pekerjaan rumah dan mengapa harus menyibukkan diri
memperbaiki seorang imam. Jangan kita menjadi hakim para imam. Mari kita
memperhatikan keselamatan kita sendiri. Jika ada imam yang sudah berlari kepada
kebinasaan, itu urusannya sendiri, urusan pemimpinnya, urusan pendamping
rohaninya, dan urusan Tuhan.
Jika St. Yohanes
Krisostom melarang keras berbuat macam-macam terhadap imam, ini demi kebaikan
dan keselamatan kita sendiri. Jika kita berani mengangkat telunjuk bahkan
kepalan tangan terhadap imam, kita berurusan dengan Tuhan sendiri.
Merenungkan apa yang
ditulis oleh St. Yohanes Krisostom, jika saya melihat dan mendengar kesalahan,
kejahatan dan dosa para imam, saya DIAM dan BERDOA. Jika memang ada sesuatu
yang serius dan berbahaya, dengan kerendahan hati dan doa, saya menyampaikannya
kepada pemimpin atau uskup dari imam yang bersangkutan. Meskipun demikian jika
ada perasaan negatif, entah itu marah, jengkel, sombong, lebih benar dan lebih
tahu, meskipun itu sedikit, lebih baik, dan selalu terbaik, DIAM dan BERDOA.
Keuntungan dari DIAM dan
BERDOA adalah, pertama-tama, kita lepas dari dosa. Kita semakin rendah hati dan
semakin melihat bahwa ternyata kita sendiri masih harus berbenah diri. Kita
tidak akan sombong, karena kita belajar menempatkan segala kelebihan kita di
bawah penilaian Tuhan.
Ketika kita menengur,
mengoreksi atau mengkritik dengan segala kerendahan hati dan atas dasar cinta,
dilakukan dengan hati-hati dan sopan, kita mungkin berhasil membuat imam
berubah dan bertobat. Apakah yang kita dapatkan? Tentunya perasaan senang dan
bangga karena kita sudah berhasil.
Kita mungkin tidak sadar bahwa ini adalah dosa kesombongan. Tetapi jika imamnya
tidak berubah dan bertobat, bahkan bisa lebih buruk karena menyerang balik atau
marah, apakah yang kita dapatkan? Tidak hanya sakit hati, tetapi juga dosa. Ini
membawa kita pada keuntungan yang kedua dari DIAM dan BERDOA.
Ketika kita DIAM dan
BERDOA, kita memercayakan imam kita pada bimbingan Tuhan, pada Dia yang telah
mengurapinya. Kita percaya Tuhan mempunyai cara yang terbaik. Tuhan tidak hanya
memberi yang terbaik tetapi lebih dari apa yang kita bayangkan. Dan inilah yang
disebut keajaiban, misteri Tuhan. Ketika saya sudah mulai merayakan Ekaristi
secara benar, atau mempersembahkan Kurban Misa (FE) lebih teratur, ada
keinginan untuk mengoreksi imam lain yang merayakan Ekaristi tanpa kasula,
contohnya. Tetapi lebih baik DIAM dan BERDOA. Akhirnya ada kesempatan memimpin
rekoleksi untuk komunitas. Saya mengangkat tema tentang imamat dan Misa. Saya
memberikan penjelasan bagaimana pentingnya liturgi (Misa, ibadat Harian, dan
pengakuan dosa) terhadap hidup seorang imam. Ada saja imam yang tidak berkasula
ketika memimpin Ekaristi, tetapi ada imam yang mulai serius menjalankan apa
yang diwajibkan oleh Gereja. Diskusi semakin terbuka tentang pentingnya
mengikuti rubrik secara benar, mendoakan Ibadat Harian dan rosario. Saya
sendiri semakin membenahi diri tentang liturgi yang adalah bagian utama dalam
hidup saya. Saya percaya ada saja perubahan yang Tuhan sedang lakukan, namun
kita tidak melihatnya. Sekurang-kurangnya kesabaran Tuhan nampak.
Masih banyak yang harus
ditulis, tetapi biarlah itu di kesempatan lain. Ini yang terakhir. Ketika kita
mendoakan imam, kita mendoakan keselamatannya. “Bebaskanlah dia dari segala
yang jahat, dan janganlah masukkan dia ke dalam pencobaan.” Bukankah Yesus
sendiri yang mengajarkan kita berdoa demikian? Ada sahabat yang mengatakan:
Romo, saya sering mendoakan imam supaya dipindahkan, supaya bertobat dan
berubah. Setelah kami bertukar pikiran, sahabat ini dengan senang hati
mendoakan para imam supaya selamat, supaya bebas dari segala yang jahat, bebas
dari pencobaan. Semoga.