Karena belajar dari sejarah,
Misa bisa diubah-ubah?
Kutipan berikut kurang lebih menyatakan alasan di balik para klerus yang
suka berkreativitas (menambah, mengurangi, mengubah kata, sikap badan, materi)
dalam Misa.
“Are you
completely unaware of the historical development of the liturgy? Do you
seriously think Holy Mass came down from heaven in the shape of the 1962
Missal? Can you talk about the sacrilege involved in altering the liturgy, when
Church history shows that the liturgy has been created by an endless series of
alterations?” [M. Mosebach, The Heresy of
Formlessness. The Roman Liturgy and Its Enemy, p. 32.]
Saya bahasakan ulang secara bebas: Mereka (terutama kaum klerus) yang suka
mengutak-atik bagian-bagian Misa entah itu kata, sikap badan, susunan, bacaan,
doa, materi, orang-orang yang terlibat) mendasarkan kreativitas mereka atas
kenyataan bahwa Misa itu mengalami perkembangan dalam sejarah. Rubrik Misa 1962
seperti yang kita miliki sekarang itu tidak jatuh dari langit. Apakah kita akan
berbicara tentang dosa sakriligi ketika liturgi adalah hasil dari penambahan
dan pengurangan yang tidak pernah habis?
Jawabannya adalah sebagai berikut:
Of course the
rite is constantly changing on its journey through the centuries! It does this
without anyone noticing and without the process having to involve any arbitrary
interference. Historical beings that we are, we are subject to the spirit of
the age in which we live; we have to see with its eyes, hear with its ears, and
think according to its mentality. Changes to an ancient action that are brought
about through the shaping hand of history have no author as such; they remain
anonymous, and – what is most important – they are invisible to contemporaries;
they emerge into consciousness only after generations. Changes and gradual
transformations of this kind are never “reforms”, because there is no explicit
intention behind them to make something better. A feature of the Church’s most
precious store of wisdom was that she had the ability to look down from a great
height on this historical process, as on a broad river, recognizing its
irresistible power, cautiously erecting dams here and there or redirecting
secondary streams into the main channel. Since Holy Mass had no author, since a
precise date could be allotted to practically none of its parts – as sally
incorporated into the Mass – everyone was free to believe and feel that it was
something eternal, not made by human hands. [M. Mosebach, p. 34-35.]
Tidak usah kuatir jika kita sudah lupa pelajaran bahasa Inggris dari bangku
sekolah. Saya akan bahasakan ulang.
Tentunya Rubrik 1962 itu adalah hasil perubahan. Tetapi bukan perubahan
sembarangan. Perubahan yang dialaminya itu terjadi dalam waktu yang panjang, tidak
diketahui siapa yang melakukannya, tidak kelihatan bahwa perubahan sedang
terjadi bagi mereka yang mengalaminya dan hanya terlihat setelah beberapa
generasi lewat, perubahan yang tidak pernah sengaja dilakukan. Maka dari itu
orang sampai mengatakan bahwa Misa itu adalah sesuatu yang kekal bukan buatan manusia.
Berikut tambahan permenungan saya:
Kadangkala orang (khususnya imam) mau mengubah sekedar untuk mengubah. Hari
ini demikian, besok lain lagi. Tergantung situasi. Jika setiap kali terjadi
perubahan akhirnya yang kita dapatkan adalah Misa hasil rekaya manusia semata.
Orang seenaknya mengubah bagian-bagian liturgi karena merasa bahwa pengamatan
mereka akan sejarah memberi mereka otoritas untuk melakukannya. Kita tidak bisa
menggunakan pengamatan sejarah ini untuk membenarkan tindakan sesaat kita.
Perubahan tidak dimaksudkan dalam arti reform. Perubahan haruslah terjadi tanpa
diketahui, tanpa disadari, tanpa dimaksudkan, karena Misa lebih tua dari kita
dan nenek moyang kita, bahkan lebih tua dari dunia. Biarkanlah diri kita diubah
oleh liturgi atau Misa.
Kurban Misa yang kita persembahkan bukanlah untuk menghibur sesama manusia,
tetapi untuk menyembah BAPA lewat PUTRA-Nya Tuhan kita Yesus Kristus. Salah
satu alasan mengapa saya semakin semangat dan percaya diri untuk merayakan
Kurban Misa Forma Extraordinaria, karena tidak ada cela untuk berkreativitas.
Kita sungguh diarakan kepada BAPA, baik kata dan sikap. Dengan mengucapkan kata
yang tertulis dan melakukan gerakan yang telah ditentukan, saya merendahkan
diri di hadapan apa yang Gereja telah wariskan dari Tuhan sendiri. Gereja
memberikan kata dan sikap kepada kita supaya kita tidak meraba-raba dalam
ketidakpastian kata dan sikap mana yang tepat untuk menyembah BAPA. Supaya
manusia yakin bagaimana seharusnya menyembah TUHAN, IA memberikan kepada kita
lewat Gereja-Nya cara menyembah DIA yang tepat. Tidak hanya itu, IA sendiri
yang menyediakan kurbannya yaitu PUTRA-Nya sendiri.
Apakah kita terlalu pintar sehingga kita menemukan kata dan sikap yang
lebih tepat, benar dan indah dari yang TUHAN sendiri telah berikan? Tuhan sudah
menyediakan, tinggal yang dituntut dari kita adalah KETAATAN. Mungkin kita
protes: tetapi bukankah TUHAN memberi kita otak untuk berpikir? Betul. Tetapi
mungkin saja TUHAN memberi kita otak cemerlang supaya kita berpikir bagaimana
kita menaati DIA, bukan membangkang melawan DIA.
Jika kita memang harus belajar dari sejarah, kita seharusnya belajar dari
apa yang terjadi di awal sejarah manusia. Karena Adam dan Hawa ingin seperti
TUHAN, karena mereka tidak taat kepada satu-satunya larangan yang TUHAN
berikan, mereka diusir dari taman Eden. Jika kita berpikir bahwa kata dan sikap
kita lebih indah, tepat, dan benar dari yang diberikan oleh TUHAN lewat
Gereja-Nya, Misa yang kita maksudkan sebagai kurban penyembahan kepada BAPA
menjadi kutukan atas diri kita sendiri.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.