Demi Tuhan dan Allahku
Di penghujung hari Tuhan ini (6 April 2014), saya membaca dua pengalaman
umat yang pertama kali mencoba menerapkan sikap hormat yang pernah menjadi
bagian dari kehidupan menggereja saat menghadiri Kurban Misa Kudus. Sikap yang
saya maksud itu adalah memakai mantilla (kerudung) dan komuni di lidah sambil
berlutut. Kedua sahabat ini (kami berkenalan di FB) berusaha menerapkan apa
yang telah menjadi kebiasaan dalam Gereja ketika berhadapan dengan Sakramen
Mahakudus. Memakai mantilla bagi wanita adalah sikap yang menunjukkan secara
nyata kerendahan hati dan hormat di hadapan Tuhan. Demikian juga dengan komuni
di lidah sambil berlutut.
Dari cerita mereka (tidak perlu menyebut nama mereka di sini, ada banyak
orang-orang yang dipuji oleh Yesus yang tidak disebutkan namanya), menerapkan
iman yang semakin bertumbuh tidaklah gampang. Kita dihantui oleh
pikiran-pikiran negatif: orang lain mengatakan apa nanti, aduh saya akan
menjadi perhatian. Atau kita merasa risih, malu, bahkan bergulat apa mau lakukan
atau tidak. Kita bahkan keringat, tidak konsentrasi ikut Misa karena sibuk
dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala, berusaha menenangkan diri,
mungkin sekali-kali badan terasa bergetar. Saya kira ini adalah hal yang wajar
setiap kali kita melakukan sesuatu yang kurang lazim.
Pelan-pelan perasaan negatif seperti ini akan pudar digantikan oleh sikap
hormat yang semakin besar terhadap Sakramen Mahakudus. Perhatian kita bukan
lagi terhadap sekeliling kita termasuk komentar mereka tetapi terhadap Tuhan.
Sikap lahiriah seperti memakai mantilla atau berlutut mengungkapkan secara
nyata iman kita yang mana kata-kata tidak mampu menyatakannya. Sikap seperti
ini menyatakan bahwa yang kita terima sungguh Tubuh Kristus, sungguh Tuhan dan
Allah kita.
Kita bisa melihat dari sisi lain. Sikap ini membantu kita semakin percaya.
Mungkin kita tidak pernah berpikir serius tentang Sakramen Mahakudus, tetapi
dengan memaksa diri berlutut dan komuni di lidah atau memakai mantilla bagi
wanita, pikiran kita pula akan dipaksa untuk menerima bahwa yang ada di hadapan
kita sungguh Tubuh Kristus.
Cerita kedua sahabat itu meneguhkan panggilan saya sebagai imam. Semoga
saya pun semakin serius dan hormat dengan Kurban Misa. Tidak selalu demikian
bagi seorang imam, karena mungkin terlalu terbiasa atau terlalu pintar, akhirnya
yang sakralpun menguap.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.