Tulisan berikut adalah permenungan dari sdri Lia Krisna di fb, sesudah
minta ijin, saya kutip seluruhnya untuk kita (awam dan imam) renungkan. Terima
kasih kepada sdri Lia. Selamat merenungkan.
“Apakah kau juga merasa bahwa
Misa itu membosankan seperti yang kurasakan?”
Paskah sebentar lagi akan datang, aku mulai berpikir, aku
akan berbuat apa tahun ini? Lagu2nya mau cari dimana nih yg meriah? KAlo bisa
yg tingkat kesulitannya tinggi…biar makin semarak. Tarian anak2??? Wooo bisa
kayanya…tinggal koordinasi dengan anak2 sekolah minggu. Jumat Agung pagi mau
buat apa? Mau tablo orangnya kurang…pada keluar kota omk-nya … susah buat
latian. Yg paling sederhana akhirnya terpikirkan… jalan salib seperti biasa…hanya
stasinya dipindah ke luar…namun tetap berakhir dalam gereja. Biar makin serem
dan lebih mengharukan…dan makin terasa “duka”nya…aku siapkan beberapa sound
efek, music instrument yang sedih, dan tak ketinggalan yaitu puisi. Weeeiiis
walao hidup di stasi, bukan berarti tidak bisa berkreasi.
Misa kudus itu menurutku perlu
dibenahi, harus ikut perkembangan jaman, lagu2nya harusnya up to date. Apalagi hari raya, harus beda …jangan sampai umat bosan
dengan misa yang lama. Sudahlah doa2nya cuma dibaca Romo, lagu2nya “nglaras”..bikin
ngantuk, kotbah Romo pun datar2 saja. Harusnya Romo itu kalau kotbah yang hidup,
semangat, kalau perlu jalan2 ke umat, wawancara dengan umat, biar umatnya ga
ngatuk.”
Itulah yang aku lakukan beberapa tahun lalu. Dan semua
itu kulakukan dengan senang hati, dengan tujuan mulia, supaya misa meriah dan
umat tidak bosan.
Namun suatu saat aku terbentur dengan yang namanya
liturgi. Selama ini aku aktif di gereja, bahkan masa kecilku tinggal di gereja,
alm bapakku diakon permanen. Tentunya aku ngerti dong apa liturgi itu. Dan
semua itu kulakukan atas nama liturgi juga. Apa sih liturgi itu? Warna baju,
urutan misa, bacaannya, mazmurnya, perlengkapan misa…oooh tahu semua itu aku.
Dan yang kulakukan tidak pernah dapat teguran, bahkan dapat pujian…jadi tentu
saja itu artinya sah.
Namun suatu hari, Romo mulai mengenalkan liturgi yang
agak beda. Ini tidak boleh lagi masuk dalam misa, lagu ini lagu profan, tarian
itu harusnya pakai music secara life, bukan kaset, lalu berkembang lagi, tarian
itu fungsinya apa sih? Apa dengan tarian itu hati umat makin bisa meresapi
makna persembahan? Atau tarian ini sbg sarana tampil anak2 kita?
Woooh makin bingung aku… Kenapa ternyata liturgi begitu kaku??? Kenapa semua dilarang?
Kenapa inkulturasi dan kreasi menjadi sulit? Gereja makin ga asyik. Pantas saja
banyak umat lari ke tetangga, mencari sesuatu yang semarak, meriah, tepuk
tangan, tarian, kotbah yang berapi-api, dsb.
Ditengah kebingungan dan kebosananku, Tuhan dengan
caranya menarik aku dalam suatu komunitas orang2 yang mengerti liturgi. Aku
merasa Tuhan sangat mencintai aku karena aku tidak dibiarkan larut dalam
ketidak-tahuanku. Bersama orang2 hebat ini aku banyak belajar apa itu Ekaristi,
apa yang terjadi disana. Dari orang2 hebat ini aku jadi tahu bahwa Gereja kita
ini punya begitu banyak dokumen, magisterium, Tradisi Suci yang selama ini
orang banyak bertanya “Tradisi yang mana yang diwariskan?”, sejarah gereja,
perbedaan2 antara Katolik dan Protestan yang kupikir selama ini sudah kupahami
tapi ternyata tidak, tata gerak dalam misa, arti dalam setiap perayaan, dan
banyaaaaak lagi yang selama ini tidak kuketahui.
Di titik ini aku merasa…”OH SELAMA INI AKU SUDAH MENYIA-NYIAKAN EKARISTI”. Kemarin aku
merasa bahwa Gereja ini “miskin”…namun sekarang aku merasa Gereja sungguh “kaya”.
Ekaristi yang dulu kurasa membosankan, terasa lama dan tanpa isi, bahkan ga tau
apa kotbah Romo, apa sabda Tuhan, bahkan sebenarnya selama ini aku sama sekali
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam Ekaristi. Kupikir selama ini
Ekaristi itu sama seperti persekutuan Doa, yaitu memuji dan memuliakan Tuhan,
hanya bedanya di dalam Misa ada DSA dan komuni. Aku merasakan bahwa lagu2 dalam
misa ini tidak cukup mewakili diriku.
Tapi kini aku tahu bahwa dalam setiap kata dalam lagu itu
punya makna yang dalam. Bahwa setiap kata dalam lagu2 itu, bukan semata
pengalaman pribadi seseorang seperti lagu2 rohani profan, namun setiap liriknya
disusun berdasarkan Kitab Suci dan dasar iman Katolik. Ternyata juga bahwa
setiap tata gerak kita itu punya makna, mengapa kita berdiri, mengapa kita
berlutut, mengapa kita menepuk dada, mengapa kita memandang, mengapa kita
mendengarkan sabda dan bukan membaca sabda, dan bahkan dalam setiap liturgi
yang kita rayakan itu semua merupakan Tradisi yang bahkan ada sejak Perjanjian
Lama. Ternyata aku tidak mengenal Gerejaku sendiri.
Apakah sekarang aku sudah menjadi seorang ahli liturgi?
Oh tidak… aku masih sangat jauh dari sebutan ahli. Masih banyak sekali yang
harus aku pelajari. Masih banyak yang aku belum tahu, dan aku sangat menikmati
proses ini. Aku merasa jatuh cinta pada Gereja Katolik untuk pertama kalinya.
Setiap kali merayakan Ekaristi, aku tidak pernah merasa bosan lagi. Lagu
ordinarium yang dulu hanya lagu2 yang lewat tanpa makna, menjadi lagu yang
paling aku nantikan, karena disanalah ungkapan iman itu dinyatakan.
Jika kau bertanya, mungkin aku belum bisa menjawab,
karena masih terbatasnya pengetahuanku,tapi akan kucari jawabnya untukmu. Dan
jika kau ingin tahu, mari belajar mengenal Gereja Katolik bersamaku. Mari
kembali ke pangkuan Gereja Katolik.
Percayalah...bahwa misa tidak akan membosankan lagi.
Aku mengucap banyak terima kasih untuk semua yang sudah
membimbing aku selama ini..para ahli liturgi, teman2 di group, page2
Katolik,.... dan jangan bosan jika aku masih akan banyak bertanya.