Mengaku dosa
langsung kepada Tuhan?
Menipu diri
sendiri.
Saya semakin mencintai Sakramen Pengakuan Dosa yang juga disebut Sakramen
Tobat, Pengampunan, atau Rekonsiliasi. Sebagai orang yang sering jatuh dalam
dosa, sebenarnya perasaan malu adalah alasan utama mengapa saya tidak pergi
mengakukan dosa-dosa saya kepada seorang imam, dan akhirnya mengatakan pada
diri sendiri bahwa saya mengaku dosa saja langsung kepada Tuhan. Padahal jika
kita malu pergi mengakukan dosa kita kepada seorang imam, justru itu bisa menjadi
alasan yang baik untuk pergi mengaku dosa. Secara tidak langsung kita mengakui
bahwa kita malu akan dosa-dosa kita. Dari pada berusaha membenarkan perasaan
malu dengan mengatakan bahwa kita bisa mengaku dosa langsung kepada Tuhan,
lebih baik dan lebih berguna kita melawan perasaan malu ini dengan merenungkan
bahwa kita menipu diri sendiri dengan mengatakan: “Saya mengaku dosa langsung
saja kepada Tuhan.”
Saya kuatir kita hanya menipu diri sendiri ketika kita mengatakan bahwa kita
mengaku dosa langsung kepada Tuhan, karena pikiran kita mampu membayangkan
bahwa Tuhan itu ada dan hadir di hadapan kita, tetapi ini tidak menjamin bahwa
Tuhan itu sungguh hadir. Kehadiran Tuhan itu sunggguh nyata, tidak hanya hasil
buah pikiran, ketika kehadiran Tuhan itu dimediasi, dinyatakan lewat hal-hal
konkrit, atau memakai perantara. Dan inilah yang disebut sakramen. Mengapa
perlu ada perantara atau sakramen? Karena kita ini adalah manusia yang tidak
hanya mempunyai pikiran tetapi juga badan yang dilengkapi dengan pancaindra.
Kita bukan malaekat. Kalau kita hanya mengandalkan pikiran kita, kita akan
menipu diri kita sendiri, kita jatuh dalam ilusi, kita percaya pada hasil
pikiran kita sendiri, karena pikiran itu memiliki kemampuan membayangkan
sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
Ibaratnya ketika kita mencuri, kita tahu tidak ada orang yang melihat, semua
lagi tertidur lelap atau keluar rumah, tetapi tetap juga kita merasa takut,
karena pikiran kita menciptakan ilusi bahwa ada saja orang lain yang sedang
melihat kita. Atau sebaliknya, kita memberanikan diri meloncati pagar,
membongkar jendela dan masuk mencuri, karena pikiran kita membayangkan bahwa
tidak ada yang melihat, padahal ada kamera keamanan yang lagi mengintip kita.
Kita lanjutkan cerita mencuri ini. Kita merasa bersalah dan berniat untuk
meminta maaf kepada orang yang telah kita rugikan. Kita mulai membayangkan apa
yang hendak kita katakan kepada orang tersebut. Kita juga mulai membayangkan
reaksi dari orang tersebut. Kita membayangkan sedang meminta maaf kepada dia.
Kita berjanji dalam pikiran kita untuk tidak melakukannya lagi, bahkan berjanji
untuk mengembalikan apa yang telah kita curi. Tetapi jika ada perasaan malu
atau takut tiba-tiba muncul dan
menjadi lebih kuat, apalagi tidak ada yang tahu bahwa kita sudah
mencuri, kita mulai membenarkan diri untuk tidak pergi meminta maaf. Kita mulai
mengikis perasaan bersalah itu dengan berjanji tidak akan melakukannya lagi,
bahkan perasaan bersalah itu hilang ketika kita akhirnya mengembalikan apa yang
kita curi itu secara diam-diam pula. Apakah kita sudah minta maaf dan sudah
dimaafkan? Tentunya tidak. Perasaan bersalah bisa hilang atau dengan diam-diam
kita sudah mengembalikan barang yang kita curi, tetapi itu tidak berarti bahwa
kita sudah minta maaf dan dimaafkan. Kita sendirilah yang membayangkan bahwa
kita sudah minta maaf dan dimaafkan. Jadi karena kemampuan pikiran membayangkan
atau memproyeksikan, kita bisa menipu diri sendiri.
Karena kita manusia yang tidak hanya mempunyai pikiran tetapi juga badan
yang dilengkapi oleh pancaindra, kita membutuhkan mediasi, perantara, atau
sakramen untuk mengalami kehadiran Tuhan secara nyata. Jika kita mengaku dosa
langsung kepada Tuhan, sesungguhnya yang terjadi adalah kita berbicara terhadap
diri kita sendiri dan mendengarkan diri kita sendiri yang berarti kita mengampuni
diri kita sendiri. Kita menipu diri sendiri.
Imam (pastor/romo) adalah in persona
Christi ketika ia mendengarkan pengakuan dosa-dosa kita dan ketika memberikan
absolusi kepada kita. Ketika kita pergi mengaku dosa kepada imam, kita sesungguhnya
mengaku dosa kepada Tuhan. Di sini pikiran kita tidak sedang dan tidak bisa
membayangkan atau mengada-ngada bahwa kita berada di hadapan seseorang, karena
memang kita sungguh-sungguh berada di hadapan seseorang yang mendengarkan pengakuan
dosa kita. Kita tidak bisa membayangkan atau berangan-angan Tuhan sedang
berbicara kepada kita, karena memang kita sungguh-sungguh berada di hadapan
seseorang yang sedang memberi kita nasehat, penitensi dan absolusi. Kehadiran
seseorang yang nyata membuat kita tidak jatuh dalam ilusi atau menipu diri
sendiri. Berada di hadapan seseorang yang sungguh nyata, kita tidak bisa
menasehati diri sendiri, memberi penitensi untuk diri sendiri dan mengampuni
diri sendiri. Kita akan membiarkan orang yang ada di hadapan kita untuk
menasehati kita, memberi kita penitensi, dan mengampuni kita. Mungkin kita
berkeberatan dengan kenyataan bahwa yang mendengarkan dosa-dosa saya adalah
imam bukan Tuhan. Menjawab keberatan ini kita kembali pada kenyataan yang mendasar
bahwa kehadiran Tuhan itu dimediasi, membutuhkan perantara, atau kehadiran
sakramental. Tidak bisa tidak. Jika kita menolak kenyataan mendasar ini,
berarti kita percaya pada sesuatu yang merupakan hasil pemikiran kita.
No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.