"Hanya" Menjadi Ibu Rumah Tangga?


Pengantar: sudah lama saya ingin menulis tentang para ibu yang tinggal di rumah menghidupi, merawat dan mengasuh keluarganya. Kita perlu berpikir bahwa para ibu yang "hanya" menjadi ibu rumah tangga sungguh panggilan yang mulia dan perlu dipertimbangkan. Mari kita membaca pengalaman dari Ibu Lia Krisna (Batam) satu dari banyak ibu yang memutuskan untuk "hanya" menjadi ibu rumah tangga.

Melalui pernikahan kudus..aku telah dihantar menjadi seorang ibu. Namun wanita jaman sekarang dihadapkan pada pilihan...apakah "hanya" menjadi ibu rumah tangga atau juga sebagai wanita karier atau wanita pekerja? Awalnya memang aku mempunyai cita2 bahwa aku ingin mengurus anak2ku sendiri dengan segenap kekuatanku...tidak kuserahkan pada pengasuh atau di tempat penitipan. Tetapi ketika aku menyadari bahwa aku hidup di Batam... dimana biaya hidup sangat tinggi...aku ragu2. Tuhan, apakah kami bisa hidup kalau hanya suamiku yang bekerja? Hadirnya seorang anak tentunya kebutuhan hidup akan meningkat.

Namun saat itu, akhirnya aku pun memutuskan bahwa aku akan tetap mengasuh anak2ku dengan tanganku sendiri dengan berbagai macam pertimbangan. Bila dihitung biaya yg dikeluarkan antara aku bekerja dan tidak bekerja...pertimbangan gaji yg aku terima saat itu...pertimbangan gaji pembantu atau baby sitter, pertimbangan jumlah kebutuhan hidup jika kami memiliki pembantu seperti kebutuhan makan misalnya, nampaknya sangat tidak sebanding dengan kehilangan waktu untuk melihat "keajaiban2" yang akan dibuat anakku. Kapan mereka pertama kali akan bisa tengkurap sendiri, kapan mereka pertama kali bisa duduk sendiri, kapan pertama kali mereka bisa berdiri dengan kakinya sendiri, kapan pertama kali dia akan memanggilku 'mami', kapan pertama kali anakku bisa berjalan, kapan pertama kali... aku ingin menjadi saksi dari semua itu, dan ketika anakku bertanya suatu saat nanti aku akan dapat menceritakan semua hal ajaib itu sebagai pengalamanku...bukan "kata pembantuku" atau "kata orang di tempat penitipan".

Banyak yg menyayangkan keputusanku untuk tidak menjadi wanita karier...krn mereka melihat aku sebagai wanita yg aktif, suka berkegiatan, suka bergaul, pendidikan S1 dan orang tuaku dengan peluh dan keringat bekerja keras untuk membiayai sekolahku. Ada juga yg beranggapan bahwa profesi sebagai ibu rumah tangga itu sama sekali tidak bergengsi..kok seperti suami ga bisa membayar pembantu aja sampai2 kita sendiri mengurus anak dan rumah tangga.

Ada yang beranggapan bahwa aku sudah sangat mapan dengan "keuangan" suamiku sehingga aku bisa leha2 nyantai di rumah menikmati kerja keras suamiku..."Kamu sih enak Lia ga perlu kerja tp suamimu sudah bisa mencukupi semua kebutuhanmu"...hohohohoho... itu salah besar. aku tidak perlu menceritakan bagaimana kondisi keuangan kami, tapi 1 hal bahwa kebutuhan dan keinginan itu beda tipis aja..berapapun uang kita, jika kita tidak bisa mengerem keinginan kita, tidak akan pernah ada kata 'cukup'. Ini pendapat pribadiku. Tapi bukan berarti juga bahwa aku sangat pandai mengatur keuangan keluarga, krn kenyataannya mmg harus mengikat pinggang kencang supaya semua dapat berjalan baik.

Menjadi wanita karier bukan hal yg buruk atau hal yg kurang baik...karena masing2 pribadi berhak menentukan pilihan dan prioritas dalam hidupnya. Setiap orang memiliki kondisi yang berbeda sehingga alasan yang sama tidak serta merta dapat diterapkan bagi orang lain.Menjadi wanita bekerja itu juga sangat sibuk, selain bekerja di luar, diapun juga harus bekerja di rumah. Akan sangat repot lagi kalau tidak punya asisten rumah tangga, dan anak harus dititipkan, setelah pulang bekerja lalu bekerja di rumah.  Apa aku tidak ingin bekerja????? Ooooh sangat ingin. Aku ingin sekali bisa memanfaatkan ilmu yg sudah aku pelajari bertahun2, aku ingin sekali bertemu dengan banyak orang, aku ingin bisa berpenghasilan sendiri, aku ingin bisa berkata "ini uang dari keringatku sendiri", aku ingin bisa keluar rumah setiap hari dan bertemu dengan orang2 di luar sana, aku ingin anakku bangga memiliki ibu yang kariernya bagus. Menjadi "hanya" ibu rumah tangga itu membosankan, kegiatannya itu2 saja, keluar juga ke pasar, supermarket, ke mall. Orang2 yg dijumpai juga itu2 saja. Bangun paling pagi dan tidur larut. Menjaga anak2 juga seperti memendam luapan emosi setiap saat, menelan ludah dan menghela nafas panjang, mengontrol tangan dan juga mulut supaya tidak ikut emosi, kadang juga menangis sendiri karena ketidak berdayaanku, jengkel pd diri sendiri ketika kita tidak bisa menahan amarah.

Namun..semua pilihan itu ada konsekuensinya.Dan untuk saat ini, "hanya" menjadi ibu rumah tanngga menjadi pilihanku. Mengawasi anak2 setiap hari, mendengar canda, tawa, dan tangis mereka setiap saat, bermain bersama mereka, membantu anak mengerjakan PR, menjadi orang pertama yg melihat segala kemajuan mereka, menjadi nama yang paling sering mereka sebut, menjadi orang yang paling mereka cari, menjadi orang yg akan menyambut mereka ketika pulang sekolah, menjadi orang yang paling sering mereka peluk dan cium, menjadi orang yang dapat mereka andalkan,... itu luar biasa. Ada yg berpendapat "kalau kamu merawat anak2 sendiri, anak2mu tidak akan mandiri, dan mereka akan terus lengket sama kamu, susah bergaul, susah beradaptasi dengan orang baru".... Apakah benar seperti itu? Menurutku semua itu kembali lagi pada pola pendidikan kita sebagai orang tua, pembawaan pribadi anak itu sendiri dan juga lingkungan pergaulannya. Karena aku pun juga anak perempuan satu2nya dan aku diasuh sendiri oleh mamiku... dan kukira aku bukan pribadi yg seperti itu. Anak2ku masih kecil dan mereka tidak akan pernah kecil lagi. Sebentar lagi mereka tumbuh besar dan akan sibuk dengan dunianya, teman2nya, sekolahnya sepanjang hari, tugas2nya, belum lagi nanti mereka sekolah di luar kota. Aku ingin menikmati saat2 indah ini, dimana mereka bisa kupeluk setiap saat, kucium, kugendong, kubacakan cerita, dan hal2 indah lainnya.

Menjadi ibu rumah tangga itu ... mau terpaksa atau merasa terpanggil..tergantung dari sudut pandang kita saja..dan bagaimana kita menjalankan tugas2 kita (menurutku). Suatu saat pun aku ingin bisa lebih berguna ketika anak2 sudah lebih mandiri. Walau bukan menjadi wanita kantoran... pasti akan ada masanya aku juga bisa berkarier.

Tidak ke gereja pada hari Minggu: dosa berat.


Tanpa alasan berat, tidak ke gereja pada hari Minggu adalah dosa berat. Sekiranya kita tidak ke gereja karena malas, tidak ada mood, lebih suka melakukan kegiatan yang lebih menyenangkan, etc, kita telah melakukan dosa berat. Jika kita mengingat apa yang kita renungkan dalam tulisan sebelumnya bahwa hanya butuh satu dosa berat untuk masuk neraka, berarti satu kali tidak ke gereja pada hari Minggu, sejauh itu adalah dosa berat, kita sudah berjalan ke neraka. Kita mungkin akan protes: apakah Tuhan yang maha pengampun sampai hati membiarkan kita berjalan masuk neraka hanya karena satu kali tidak ke gereja pada hari Minggu?
Satu kali tidak pergi ke gereja pada hari Minggu mungkin saja berkaitan dengan dosa lainnya, seperti malas. Dosa berat karena tidak pergi ke gereja pada hari Minggu mungkin saja sudah menjadi kebiasaan. Orang yang rajin ke gereja pada hari Minggu dan pada hari raya wajib lainnya, jika dia tidak pergi satu kali kemungkinan besar karena terpaksa sekali misalnya sakit. Dan dia tidak melakukan dosa berat karena ada alasan yang berat yang membuatnya tidak bisa pergi ke gereja.
Kita tidak bisa menyembunyikan diri di balik pertanyaan ini: apakah Tuhan yang maha pengampun sampai hati membiarkan kita berjalan masuk neraka hanya karena satu kali tidak ke gereja pada hari Minggu? Kita perlu memeriksa diri mengapa kita tidak ke gereja. Apakah memang baru satu kali? Apakah memang hanya dosa berat - tidak pergi ke gereja tanpa alasan berat - itu saja yang kita lakukan? Mungkin ada dosa lain yang berhubungan dengan itu. Terlebih lagi, ini yang patut kita ingat, satu dosa membuka peluang untuk melakukan dosa yang lain. Jika kita tidak ke gereja pada hari Minggu karena malas misalnya, kita patut ingat bahwa kita berada dalam keadaan dosa berat, sehingga pada hari Minggu berikutnya, jangan kita pergi komuni sebelum mengaku dosa karena kita akan jatuh dalam dosa sakrilegi.
Mungkin kita protes lagi: jika saya tidak menerima komuni, untuk apa saya pergi ke gereja pada hari Minggu? Saat kita mulai protes demikian, dosa kesombongan dan kemarahan sudah mulai nampak di ambang pintu. Komuni bukanlah hak kita. Kita pergi ke gereja pada hari Minggu untuk memenuhi kewajiban kita: menguduskan hari Tuhan, menyembah Tuhan, bersyukur kepada-Nya. Dan mengapa tidak, datanglah lebih awal supaya bisa bertemu dengan seorang imam untuk mengaku dosa. Dengan demikian selain kita menerima pengampunan juga Tubuh Kristus yang kedua-duanya menguatkan kita dalam perjalanan kita ke surga.
Gereja tidak membebani kita dengan banyak peraturan. Justru karena Gereja mencintai kita, menginginkan kita sampai di surga, maka Gereja menunjukkan kepada kita rambu-rambu yang patut kita perhatikan selama perjalanan kita ke surga supaya kita aman dan selamat.

Masuk neraka hanya karena satu dosa berat!


Masuk neraka hanya karena satu dosa berat!
Mungkin kita meragukan kebenaran pernyataan ini: hanya karena melakukan satu dosa berat, seseorang masuk neraka. Mengerihkan. Itu yang kita rasakan. Lantas kita mulai bertanya: Apakah karena satu dosa berat, Tuhan yang maharahim sampai hati membiarkan seseorang masuk neraka?
Jika kita memikirkannya baik-baik, pernyataan itu benar. Karena, pertama, satu dosa berat sebenarnya berkaitan dengan dosa berat yang lainnya. Kedua, orang tidak pernah melakukan satu dosa berat hanya satu kali, tetapi beberapa kali bahkan menjadi kebiasaan.
Jangan kita melihat pernyataan itu sesuatu yang menakut-nakuti, tetapi sesuatu yang mengingatkan kita untuk selalu bertobat, untuk selalu datang mengakukan dosa kita dan menerima Sakramen Pengampunan dari Tuhan. Adalah benar bahwa Tuhan yang maharahim tidak sampai hati kita masuk neraka. Maka dari itu Bapa kita di surga lewat Yesus Kristus telah memberikan Sakramen Tobat kepada Gereja supaya kita senantiasa menerima pengampunan dari pada-Nya, supaya kita boleh meninggal dalam keadaan berahmat atau sekurang-kurangnya tanpa dosa berat.
Jika kita memang telah melakukan hanya satu dosa berat dan hanya satu kali, Gereja meminta kita untuk pergi secepat mungkin mengakukan dosa kita. Jangan membiarkan Setan meyakinkan kita: apakah Tuhan yang maharahim sampai hati membiarkan kita masuk neraka hanya karena satu dosa berat? Jangan kita menipu diri. Satu dosa berat adalah awal dari kebiasaan berbuat dosa dan membawa kita kepada dosa-dosa yang lain.
Catatan: Ada tiga syarat yang membuat satu perbuatan menjadi dosa berat. Pertama: perbuatan itu adalah berat. Kedua: tahu bahwa perbuatan itu adalah dosa. Ketiga: perbuatan itu disertai keinginan untuk melakukannya. Contohnya: mencuri menjadi dosa berat jika ketiga syarat dipenuhi. Tetapi jika mencuri karena dipaksa oleh orang lain, tentunya menjadi dosa ringan. Bahkan mereka yang menderita penyakit kleptomania, tentunya perbuatannya tidak bisa dianggap dosa karena apa yang dilakukannya diluar tanggungjawabnya.

Yesus bangkit secara badaniah!


Yesus Bangkit
Karena waktu masih banyak sebelum berangkat ke paroki Santissima Trinita dei Pellegrini (FSSP) di Roma untuk mengikuti Vigil Paskah dalam forma ekstraordinaria, saya menulis sedikit permenungan seputar kebangkitan Yesus.
Dari kecil sampai sekarang, setiap kali mendengar Injil tentang kebangkitan Yesus, saya mengertinya seperti yang tertulis (literal). Saya percaya bahwa Ia bangkit. Saya telah banyak mendengar dan membaca penjelasan, pertanyaan, keberatan dan perdebatan yang mengatakan sebaliknya. Ada banyak orang yang berkeliling ke sana ke mari baik yang beragama maupun yang tidak percaya akan Tuhan mengatakan bahwa kebangkitan Yesus itu adalah omong kosong, mustahil, dogeng, kekanak-kanakan.
Apakah orang dewasa seperti saya masih percaya bahwa Yesus bangkit secara badaniah? Ya.
Tentunya kita tahu benar cerita tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin di Injil Lukas (16,19-31). Di bagian terakhir dari cerita tertulis demikian: “... mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati” (Luk 16,31). Kita harus ingat bahwa cerita ini menyangkut keselamatan dan siksaan kekal yang menunggu setiap orang setelah kematian. Banyak nabi telah mengumandangkan tentang adanya neraka dan surga yang menunggu manusia.
Demi keselamatan kita, apakah kita hendak menolak seseorang yang telah bangkit dari kematian bahkan yang sudah turun ke neraka? Yesus menderita, mati, dan bangkit demi keselamatan kita. Jika kita menolak bahwa Yesus sungguh bangkit secara badaniah, kita sudah mencelakakan diri sendiri, kita sudah menentukan pilihan kita.
Rasul Yohanes, demikian juga penginjil lainnya, menulis tentang Yesus supaya kita percaya dan beroleh hidup dalam nama-Nya (bdk. Yoh 20,30-31).
Kebangkitan Yesus adalah alasan untuk merindukan surga. Jika Dia tidak bangkit, maka sia-sialah iman kita (bdk 1 Kor 15,14).
Amin.

Mengaku dosa langsung kepada Tuhan? Menipu diri sendiri.


Mengaku dosa langsung kepada Tuhan?
Menipu diri sendiri.
Saya semakin mencintai Sakramen Pengakuan Dosa yang juga disebut Sakramen Tobat, Pengampunan, atau Rekonsiliasi. Sebagai orang yang sering jatuh dalam dosa, sebenarnya perasaan malu adalah alasan utama mengapa saya tidak pergi mengakukan dosa-dosa saya kepada seorang imam, dan akhirnya mengatakan pada diri sendiri bahwa saya mengaku dosa saja langsung kepada Tuhan. Padahal jika kita malu pergi mengakukan dosa kita kepada seorang imam, justru itu bisa menjadi alasan yang baik untuk pergi mengaku dosa. Secara tidak langsung kita mengakui bahwa kita malu akan dosa-dosa kita. Dari pada berusaha membenarkan perasaan malu dengan mengatakan bahwa kita bisa mengaku dosa langsung kepada Tuhan, lebih baik dan lebih berguna kita melawan perasaan malu ini dengan merenungkan bahwa kita menipu diri sendiri dengan mengatakan: “Saya mengaku dosa langsung saja kepada Tuhan.”
Saya kuatir kita hanya menipu diri sendiri ketika kita mengatakan bahwa kita mengaku dosa langsung kepada Tuhan, karena pikiran kita mampu membayangkan bahwa Tuhan itu ada dan hadir di hadapan kita, tetapi ini tidak menjamin bahwa Tuhan itu sungguh hadir. Kehadiran Tuhan itu sunggguh nyata, tidak hanya hasil buah pikiran, ketika kehadiran Tuhan itu dimediasi, dinyatakan lewat hal-hal konkrit, atau memakai perantara. Dan inilah yang disebut sakramen. Mengapa perlu ada perantara atau sakramen? Karena kita ini adalah manusia yang tidak hanya mempunyai pikiran tetapi juga badan yang dilengkapi dengan pancaindra. Kita bukan malaekat. Kalau kita hanya mengandalkan pikiran kita, kita akan menipu diri kita sendiri, kita jatuh dalam ilusi, kita percaya pada hasil pikiran kita sendiri, karena pikiran itu memiliki kemampuan membayangkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
Ibaratnya ketika kita mencuri, kita tahu tidak ada orang yang melihat, semua lagi tertidur lelap atau keluar rumah, tetapi tetap juga kita merasa takut, karena pikiran kita menciptakan ilusi bahwa ada saja orang lain yang sedang melihat kita. Atau sebaliknya, kita memberanikan diri meloncati pagar, membongkar jendela dan masuk mencuri, karena pikiran kita membayangkan bahwa tidak ada yang melihat, padahal ada kamera keamanan yang lagi mengintip kita.
Kita lanjutkan cerita mencuri ini. Kita merasa bersalah dan berniat untuk meminta maaf kepada orang yang telah kita rugikan. Kita mulai membayangkan apa yang hendak kita katakan kepada orang tersebut. Kita juga mulai membayangkan reaksi dari orang tersebut. Kita membayangkan sedang meminta maaf kepada dia. Kita berjanji dalam pikiran kita untuk tidak melakukannya lagi, bahkan berjanji untuk mengembalikan apa yang telah kita curi. Tetapi jika ada perasaan malu atau takut tiba-tiba muncul dan  menjadi lebih kuat, apalagi tidak ada yang tahu bahwa kita sudah mencuri, kita mulai membenarkan diri untuk tidak pergi meminta maaf. Kita mulai mengikis perasaan bersalah itu dengan berjanji tidak akan melakukannya lagi, bahkan perasaan bersalah itu hilang ketika kita akhirnya mengembalikan apa yang kita curi itu secara diam-diam pula. Apakah kita sudah minta maaf dan sudah dimaafkan? Tentunya tidak. Perasaan bersalah bisa hilang atau dengan diam-diam kita sudah mengembalikan barang yang kita curi, tetapi itu tidak berarti bahwa kita sudah minta maaf dan dimaafkan. Kita sendirilah yang membayangkan bahwa kita sudah minta maaf dan dimaafkan. Jadi karena kemampuan pikiran membayangkan atau memproyeksikan, kita bisa menipu diri sendiri.
Karena kita manusia yang tidak hanya mempunyai pikiran tetapi juga badan yang dilengkapi oleh pancaindra, kita membutuhkan mediasi, perantara, atau sakramen untuk mengalami kehadiran Tuhan secara nyata. Jika kita mengaku dosa langsung kepada Tuhan, sesungguhnya yang terjadi adalah kita berbicara terhadap diri kita sendiri dan mendengarkan diri kita sendiri yang berarti kita mengampuni diri kita sendiri. Kita menipu diri sendiri.
Imam (pastor/romo) adalah in persona Christi ketika ia mendengarkan pengakuan dosa-dosa kita dan ketika memberikan absolusi kepada kita. Ketika kita pergi mengaku dosa kepada imam, kita sesungguhnya mengaku dosa kepada Tuhan. Di sini pikiran kita tidak sedang dan tidak bisa membayangkan atau mengada-ngada bahwa kita berada di hadapan seseorang, karena memang kita sungguh-sungguh berada di hadapan seseorang yang mendengarkan pengakuan dosa kita. Kita tidak bisa membayangkan atau berangan-angan Tuhan sedang berbicara kepada kita, karena memang kita sungguh-sungguh berada di hadapan seseorang yang sedang memberi kita nasehat, penitensi dan absolusi. Kehadiran seseorang yang nyata membuat kita tidak jatuh dalam ilusi atau menipu diri sendiri. Berada di hadapan seseorang yang sungguh nyata, kita tidak bisa menasehati diri sendiri, memberi penitensi untuk diri sendiri dan mengampuni diri sendiri. Kita akan membiarkan orang yang ada di hadapan kita untuk menasehati kita, memberi kita penitensi, dan mengampuni kita. Mungkin kita berkeberatan dengan kenyataan bahwa yang mendengarkan dosa-dosa saya adalah imam bukan Tuhan. Menjawab keberatan ini kita kembali pada kenyataan yang mendasar bahwa kehadiran Tuhan itu dimediasi, membutuhkan perantara, atau kehadiran sakramental. Tidak bisa tidak. Jika kita menolak kenyataan mendasar ini, berarti kita percaya pada sesuatu yang merupakan hasil pemikiran kita.

Mau ke mana ketika meninggal?


Merindukan Surga
Memasuki Pekan Suci, saya ingin menulis apa yang sering menjadi permenungan tentang hal-hal terakhir yang menunggu manusia: kematian, penghakiman, surga dan neraka. Kematian sepertinya jelas. Setiap orang akan meninggal. Suka atau tidak. Setuju atau tidak. Kita akan meninggal. Tetapi apakah yang terjadi sesudah kematian? Ini yang menjadi perdebatan. Tentunya kita bisa mengatakan sesuatu sebagai pengamat dari luar tentang apa yang dialami oleh mereka yang sudah mendahului kita. Tubuh mereka akan hancur. Berangkat dari pengamatan seperti ini, tidak sedikit orang berpikir bahwa hidup ini hanya sekali saja dan kematian adalah akhir dari segala-galanya. Sesudah kematian, tidak ada apa-apa lagi selain debu yang tersisa. Cara berpikir seperti ini tidak selalu datang dari mereka yang tidak percaya pada Tuhan. Orang-orang beragama pun tergoda berpikir demikian. Namun jika ada orang beragama yang berpikir seperti itu ada dua kemungkinan yang dimaksudkan. Pertama, orang tersebut tidak memikirkan agama dengan serius. Ia hanya beragama karena tuntutan masyarakat. Kedua, orang tersebut bergumul dengan pertanyaan seputar kematian. Ia mempertanyakan makna hidupnya. Jawaban yang ia temukan akan membuatnya serius tentang agama atau menjadikannya orang tidak beriman.
Kembali ke pemikiran bahwa kematian adalah akhir dari hidup ini, atau tidak ada apa-apa sesudah kematian bagi yang meninggal. Tentunya kita yang hidup melihat bahwa ketika seseorang meninggal, masih ada yang berlanjut yaitu tubuhnya menjadi debu, warisan genetik dalam anak cucunya, buah karyanya bisa dilihat bahkan diabadikan. Jadi masih ada yang tersisa tentang dia yang meninggal. Tetapi ini menurut kita yang melihat dari luar. Bagaimana dengan yang meninggal itu sendiri. Jika kita meninggal apakah kita merasakan apa yang kita lihat ketika orang lain meninggal. Apakah meninggal itu sungguh tidur yang panjang? Tidak ada apa-apa lagi.
Setiap agama menawarkan jawaban. Jawaban mereka pun berbeda satu sama lain. Ada yang mengatakan bahwa sesudah kematian ada reinkarnasi. Kesadaran (bukan roh atau jiwa) dari orang yang meninggal akan lahir kembali. Jika hidupnya buruk sebelum meninggal, kemungkinan akan lahir sebagai kecoak. Jika hidup sebelumnya baik, hidup kemudian akan menjadi lebih baik, dan akhirnya akan keluar dari penderitaan. Tetapi akhir dari reinkarnasi ini adalah ketiadaan.
Ada juga yang menawarkan adanya surga dan neraka. Tetapi gambaran tentang surga dan neraka berbeda dari agama ini dan itu. Ada yang menawarkan surga dan neraka yang amat lahiria. Laki-laki yang terbunuh demi agama akan mendapatkan perawan. Demikian juga dengan neraka yang digambarkan dengan jelas yang penuh dengan siksaan seturut dengan perbuatan kita di dunia ini. Misalnya orang terpotong tangannya tiada hentinya karena mencuri. Bagaimana dengan yang berbuat cabul?
Lantas bagaimanakah iman Katolik? Ungkapan yang tepat menggambarkan tentang apa yang kita alami sesudah kematian adalah “hidup bersatu dengan Tuhan.” Dengan demikian surga berarti bersatu dengan Tuhan, sedangkan neraka berarti terpisah dari Tuhan. Sungguh kenyataan rohania.
Mereka yang percaya bahwa surga dan neraka tidak ada tentunya sudah memilih terputusnya hubungan dengan Tuhan. Mungkin mereka menolak neraka yang penuh siksaan anggota tubuh, tetapi mereka memilih neraka di mana hubungan dengan Tuhan terputus. Mereka yang percaya reinkarnasi, akhirnya sampai pada ketiadaan, tentunya telah memilih di mana kembali berhubungan dengan Tuhan tidak mempunyai tempat. Mereka yang percaya pada surga dan neraka yang lahiriah, tentunya kecewa dan akhirnya menjauh juga dari Tuhan.
Mungkin kita belum bahkan tidak pernah selama persiarahan kita di dunia mendapatkan gambaran yang jelas tentang surga dan neraka, tentang bagaimana itu rasanya bersatu dengan Tuhan atau terpisah dari Tuhan. Tetapi dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai orang beriman Katolik, kita sudah samar-samar mengalami apa yang menunggu kita di akhir persiarahan kita di dunia ini. Apakah yang membuat hubungan kita dengan Tuhan terputus? Dosa. Apa yang kita alami ketika kita larut dalam dosa? Bandingkan dengan apa yang kita alami ketika kita mendapatkan absolusi dari imam di kamar pengakuan? Apa yang membuat hubungan kita dengan Tuhan terjalin? Tuhan sendiri. Apa yang kita alami ketika kita menyambut Tubuh Kristus? Bandingkan saat tidak bisa hadir dalam Perayaan Ekaristi.
Jika kita merindukan surga, jika kita percaya akan janji Tuhan, jika kita mengimani apa yang Tuhan sendiri katakan tentang penghakiman terakhir, surga dan neraka, kita akan menjalani hidup kita di dunia ini berbeda sekali. Kita akan bergantung pada kerahiman Tuhan, pada belas kasih Tuhan. Tidakkah kita melihat bagaimana penganut agama lain berusaha keluar dari karma yang mereka percaya? Tidakkah kita melihat bagaimana penganut agama lain berusaha membersihkan diri dari yang haram dan najis? Tidakkah kita melihat bagaimana mereka yang tidak percaya lari dari kenikmatan yang satu ke kenikmatan yang lain?
Tetapi ada yang melontarkan keberatan misalnya jalan ke surga itu membosankan, tidak ada kesenangan sama sekali, banyak aturan. Atau ada yang menyerang iman Katolik misalnya percaya pada tiga tuhan, menyembah patung. Mungkin kita belum mempunyai kata-kata yang tepat menjawab semua keberatan dan serangan yang ada, mungkin banyak hal yang belum kita mengerti, tetapi jika kita yakin bahwa keselamatan hanya dalam Gereja Katolik, kita tidak akan goyah. Setan di taman Eden sungguh cerdik dan pintar. Dia bersama pengikutnya tidak kehilangan akal untuk mencari penghuni neraka. Tetapi satu kita yakin: Orang Katolik sudah berada pada jalan yang benar. Kita tinggal berjalan ke mana Bapa menunggu kita. Selama perjalanan mungkin kita jatuh bangun, tetapi tidak usah kuatir. Tuhan telah menyediakan sakramen-sakramen lewat Gereja-Nya untuk itu. Selamat memasuki Pekan Suci.

Demi Tuhanku dan Allahku


Demi Tuhan dan Allahku
Di penghujung hari Tuhan ini (6 April 2014), saya membaca dua pengalaman umat yang pertama kali mencoba menerapkan sikap hormat yang pernah menjadi bagian dari kehidupan menggereja saat menghadiri Kurban Misa Kudus. Sikap yang saya maksud itu adalah memakai mantilla (kerudung) dan komuni di lidah sambil berlutut. Kedua sahabat ini (kami berkenalan di FB) berusaha menerapkan apa yang telah menjadi kebiasaan dalam Gereja ketika berhadapan dengan Sakramen Mahakudus. Memakai mantilla bagi wanita adalah sikap yang menunjukkan secara nyata kerendahan hati dan hormat di hadapan Tuhan. Demikian juga dengan komuni di lidah sambil berlutut.
Dari cerita mereka (tidak perlu menyebut nama mereka di sini, ada banyak orang-orang yang dipuji oleh Yesus yang tidak disebutkan namanya), menerapkan iman yang semakin bertumbuh tidaklah gampang. Kita dihantui oleh pikiran-pikiran negatif: orang lain mengatakan apa nanti, aduh saya akan menjadi perhatian. Atau kita merasa risih, malu, bahkan bergulat apa mau lakukan atau tidak. Kita bahkan keringat, tidak konsentrasi ikut Misa karena sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala, berusaha menenangkan diri, mungkin sekali-kali badan terasa bergetar. Saya kira ini adalah hal yang wajar setiap kali kita melakukan sesuatu yang kurang lazim.
Pelan-pelan perasaan negatif seperti ini akan pudar digantikan oleh sikap hormat yang semakin besar terhadap Sakramen Mahakudus. Perhatian kita bukan lagi terhadap sekeliling kita termasuk komentar mereka tetapi terhadap Tuhan.
Sikap lahiriah seperti memakai mantilla atau berlutut mengungkapkan secara nyata iman kita yang mana kata-kata tidak mampu menyatakannya. Sikap seperti ini menyatakan bahwa yang kita terima sungguh Tubuh Kristus, sungguh Tuhan dan Allah kita.
Kita bisa melihat dari sisi lain. Sikap ini membantu kita semakin percaya. Mungkin kita tidak pernah berpikir serius tentang Sakramen Mahakudus, tetapi dengan memaksa diri berlutut dan komuni di lidah atau memakai mantilla bagi wanita, pikiran kita pula akan dipaksa untuk menerima bahwa yang ada di hadapan kita sungguh Tubuh Kristus.
Cerita kedua sahabat itu meneguhkan panggilan saya sebagai imam. Semoga saya pun semakin serius dan hormat dengan Kurban Misa. Tidak selalu demikian bagi seorang imam, karena mungkin terlalu terbiasa atau terlalu pintar, akhirnya yang sakralpun menguap.

Utak-atik liturgi atas nama perubahan dlm sejarah


Karena belajar dari sejarah,
Misa bisa diubah-ubah?

Kutipan berikut kurang lebih menyatakan alasan di balik para klerus yang suka berkreativitas (menambah, mengurangi, mengubah kata, sikap badan, materi) dalam Misa.

“Are you completely unaware of the historical development of the liturgy? Do you seriously think Holy Mass came down from heaven in the shape of the 1962 Missal? Can you talk about the sacrilege involved in altering the liturgy, when Church history shows that the liturgy has been created by an endless series of alterations?” [M. Mosebach, The Heresy of Formlessness. The Roman Liturgy and Its Enemy, p. 32.]

Saya bahasakan ulang secara bebas: Mereka (terutama kaum klerus) yang suka mengutak-atik bagian-bagian Misa entah itu kata, sikap badan, susunan, bacaan, doa, materi, orang-orang yang terlibat) mendasarkan kreativitas mereka atas kenyataan bahwa Misa itu mengalami perkembangan dalam sejarah. Rubrik Misa 1962 seperti yang kita miliki sekarang itu tidak jatuh dari langit. Apakah kita akan berbicara tentang dosa sakriligi ketika liturgi adalah hasil dari penambahan dan pengurangan yang tidak pernah habis?

Jawabannya adalah sebagai berikut:

Of course the rite is constantly changing on its journey through the centuries! It does this without anyone noticing and without the process having to involve any arbitrary interference. Historical beings that we are, we are subject to the spirit of the age in which we live; we have to see with its eyes, hear with its ears, and think according to its mentality. Changes to an ancient action that are brought about through the shaping hand of history have no author as such; they remain anonymous, and – what is most important – they are invisible to contemporaries; they emerge into consciousness only after generations. Changes and gradual transformations of this kind are never “reforms”, because there is no explicit intention behind them to make something better. A feature of the Church’s most precious store of wisdom was that she had the ability to look down from a great height on this historical process, as on a broad river, recognizing its irresistible power, cautiously erecting dams here and there or redirecting secondary streams into the main channel. Since Holy Mass had no author, since a precise date could be allotted to practically none of its parts – as sally incorporated into the Mass – everyone was free to believe and feel that it was something eternal, not made by human hands. [M. Mosebach, p. 34-35.]

Tidak usah kuatir jika kita sudah lupa pelajaran bahasa Inggris dari bangku sekolah. Saya akan bahasakan ulang.

Tentunya Rubrik 1962 itu adalah hasil perubahan. Tetapi bukan perubahan sembarangan. Perubahan yang dialaminya itu terjadi dalam waktu yang panjang, tidak diketahui siapa yang melakukannya, tidak kelihatan bahwa perubahan sedang terjadi bagi mereka yang mengalaminya dan hanya terlihat setelah beberapa generasi lewat, perubahan yang tidak pernah sengaja dilakukan. Maka dari itu orang sampai mengatakan bahwa Misa itu adalah sesuatu yang kekal bukan buatan manusia.

Berikut tambahan permenungan saya:

Kadangkala orang (khususnya imam) mau mengubah sekedar untuk mengubah. Hari ini demikian, besok lain lagi. Tergantung situasi. Jika setiap kali terjadi perubahan akhirnya yang kita dapatkan adalah Misa hasil rekaya manusia semata. Orang seenaknya mengubah bagian-bagian liturgi karena merasa bahwa pengamatan mereka akan sejarah memberi mereka otoritas untuk melakukannya. Kita tidak bisa menggunakan pengamatan sejarah ini untuk membenarkan tindakan sesaat kita. Perubahan tidak dimaksudkan dalam arti reform. Perubahan haruslah terjadi tanpa diketahui, tanpa disadari, tanpa dimaksudkan, karena Misa lebih tua dari kita dan nenek moyang kita, bahkan lebih tua dari dunia. Biarkanlah diri kita diubah oleh liturgi atau Misa.

Kurban Misa yang kita persembahkan bukanlah untuk menghibur sesama manusia, tetapi untuk menyembah BAPA lewat PUTRA-Nya Tuhan kita Yesus Kristus. Salah satu alasan mengapa saya semakin semangat dan percaya diri untuk merayakan Kurban Misa Forma Extraordinaria, karena tidak ada cela untuk berkreativitas. Kita sungguh diarakan kepada BAPA, baik kata dan sikap. Dengan mengucapkan kata yang tertulis dan melakukan gerakan yang telah ditentukan, saya merendahkan diri di hadapan apa yang Gereja telah wariskan dari Tuhan sendiri. Gereja memberikan kata dan sikap kepada kita supaya kita tidak meraba-raba dalam ketidakpastian kata dan sikap mana yang tepat untuk menyembah BAPA. Supaya manusia yakin bagaimana seharusnya menyembah TUHAN, IA memberikan kepada kita lewat Gereja-Nya cara menyembah DIA yang tepat. Tidak hanya itu, IA sendiri yang menyediakan kurbannya yaitu PUTRA-Nya sendiri.

Apakah kita terlalu pintar sehingga kita menemukan kata dan sikap yang lebih tepat, benar dan indah dari yang TUHAN sendiri telah berikan? Tuhan sudah menyediakan, tinggal yang dituntut dari kita adalah KETAATAN. Mungkin kita protes: tetapi bukankah TUHAN memberi kita otak untuk berpikir? Betul. Tetapi mungkin saja TUHAN memberi kita otak cemerlang supaya kita berpikir bagaimana kita menaati DIA, bukan membangkang melawan DIA.

Jika kita memang harus belajar dari sejarah, kita seharusnya belajar dari apa yang terjadi di awal sejarah manusia. Karena Adam dan Hawa ingin seperti TUHAN, karena mereka tidak taat kepada satu-satunya larangan yang TUHAN berikan, mereka diusir dari taman Eden. Jika kita berpikir bahwa kata dan sikap kita lebih indah, tepat, dan benar dari yang diberikan oleh TUHAN lewat Gereja-Nya, Misa yang kita maksudkan sebagai kurban penyembahan kepada BAPA menjadi kutukan atas diri kita sendiri.

Percaya dengan Lutut. Maksudnya?


Percaya dengan Lutut.
M. Mosebach (seorang penulis, awam, pencinta Misa FE) menulis: “We believe with our knees, or we do not believe at all.” Yang kurang lebih mengatakan: kita percaya dengan lutut kita atau kita tidak percaya sama sekali. Ini dalam konteks menghadiri Kurban Misa. Orang-orang Katolik percaya bahwa yang mereka terima saat komuni adalah Tubuh Kristus sendiri. Yang menjadi pertanyaan: bagaimana kepercayaan itu sungguh nyata? Mosebach menulis lebih lanjut demikian (saya bahasakan ulang): Orang berlutut saat komuni karena ia percaya bahwa Sang Pencipta hadir dalam hosti. Hal ini sungguh bahan tertawaan dan ejekan di banyak tempat, dan kita harus bersyukur kepada Tuhan karena itu.
Jika kita mengamini bahwa saat komuni kita menerima Tubuh Kristus, kita menerima Tuhan, iman ini jangan hanya tinggal di pikiran saja tetapi juga harus nyata dalam gerakan tubuh misalnya berlutut. Orang yang bukan Katolik bisa berpikir seperti kita, tetapi apakah mereka akan berani berlutut di hadapan Tubuh Kristus? Kita terlalu banyak memakai kepala dalam beriman, tetapi jarang dengan anggota tubuh yang lain yang mana tidak kalah pentingnya. Tanpa banyak berkata apa-apa, mereka yang menerima komuni di lidah sambil berlutut menyatakan iman mereka secara mendalam.
Pikirkan ini. Siapa yang sering disuap? Orang yang tidak berdaya. Kita adalah orang-orang yang tidak berdaya di hadapan Tuhan. Berlutut di hadapan orang lain? Tanda hormat dan kerendahan. Kita hormat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Marilah kita menyembah Tuhan tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga sikap badan yang mana lebih menyatakan apa yang kata-kata tidak mampu mengungkapkannya.
Tuhan membekati.

Misa membosankan? Seorang umat menjawab.


Tulisan berikut adalah permenungan dari sdri Lia Krisna di fb, sesudah minta ijin, saya kutip seluruhnya untuk kita (awam dan imam) renungkan. Terima kasih kepada sdri Lia. Selamat merenungkan.

“Apakah kau juga merasa bahwa Misa itu membosankan seperti yang kurasakan?”

Paskah sebentar lagi akan datang, aku mulai berpikir, aku akan berbuat apa tahun ini? Lagu2nya mau cari dimana nih yg meriah? KAlo bisa yg tingkat kesulitannya tinggi…biar makin semarak. Tarian anak2??? Wooo bisa kayanya…tinggal koordinasi dengan anak2 sekolah minggu. Jumat Agung pagi mau buat apa? Mau tablo orangnya kurang…pada keluar kota omk-nya … susah buat latian. Yg paling sederhana akhirnya terpikirkan… jalan salib seperti biasa…hanya stasinya dipindah ke luar…namun tetap berakhir dalam gereja. Biar makin serem dan lebih mengharukan…dan makin terasa “duka”nya…aku siapkan beberapa sound efek, music instrument yang sedih, dan tak ketinggalan yaitu puisi. Weeeiiis walao hidup di stasi, bukan berarti tidak bisa berkreasi.

Misa kudus itu menurutku perlu dibenahi, harus ikut perkembangan jaman, lagu2nya harusnya up to date. Apalagi hari raya, harus beda …jangan sampai umat bosan dengan misa yang lama. Sudahlah doa2nya cuma dibaca Romo, lagu2nya “nglaras”..bikin ngantuk, kotbah Romo pun datar2 saja. Harusnya Romo itu kalau kotbah yang hidup, semangat, kalau perlu jalan2 ke umat, wawancara dengan umat, biar umatnya ga ngatuk.”

Itulah yang aku lakukan beberapa tahun lalu. Dan semua itu kulakukan dengan senang hati, dengan tujuan mulia, supaya misa meriah dan umat tidak bosan.

Namun suatu saat aku terbentur dengan yang namanya liturgi. Selama ini aku aktif di gereja, bahkan masa kecilku tinggal di gereja, alm bapakku diakon permanen. Tentunya aku ngerti dong apa liturgi itu. Dan semua itu kulakukan atas nama liturgi juga. Apa sih liturgi itu? Warna baju, urutan misa, bacaannya, mazmurnya, perlengkapan misa…oooh tahu semua itu aku. Dan yang kulakukan tidak pernah dapat teguran, bahkan dapat pujian…jadi tentu saja itu artinya sah.

Namun suatu hari, Romo mulai mengenalkan liturgi yang agak beda. Ini tidak boleh lagi masuk dalam misa, lagu ini lagu profan, tarian itu harusnya pakai music secara life, bukan kaset, lalu berkembang lagi, tarian itu fungsinya apa sih? Apa dengan tarian itu hati umat makin bisa meresapi makna persembahan? Atau tarian ini sbg sarana tampil anak2 kita?

Woooh makin bingung aku… Kenapa ternyata liturgi begitu kaku??? Kenapa semua dilarang? Kenapa inkulturasi dan kreasi menjadi sulit? Gereja makin ga asyik. Pantas saja banyak umat lari ke tetangga, mencari sesuatu yang semarak, meriah, tepuk tangan, tarian, kotbah yang berapi-api, dsb.

Ditengah kebingungan dan kebosananku, Tuhan dengan caranya menarik aku dalam suatu komunitas orang2 yang mengerti liturgi. Aku merasa Tuhan sangat mencintai aku karena aku tidak dibiarkan larut dalam ketidak-tahuanku. Bersama orang2 hebat ini aku banyak belajar apa itu Ekaristi, apa yang terjadi disana. Dari orang2 hebat ini aku jadi tahu bahwa Gereja kita ini punya begitu banyak dokumen, magisterium, Tradisi Suci yang selama ini orang banyak bertanya “Tradisi yang mana yang diwariskan?”, sejarah gereja, perbedaan2 antara Katolik dan Protestan yang kupikir selama ini sudah kupahami tapi ternyata tidak, tata gerak dalam misa, arti dalam setiap perayaan, dan banyaaaaak lagi yang selama ini tidak kuketahui.

Di titik ini aku merasa…”OH SELAMA INI AKU SUDAH MENYIA-NYIAKAN EKARISTI”. Kemarin aku merasa bahwa Gereja ini “miskin”…namun sekarang aku merasa Gereja sungguh “kaya”. Ekaristi yang dulu kurasa membosankan, terasa lama dan tanpa isi, bahkan ga tau apa kotbah Romo, apa sabda Tuhan, bahkan sebenarnya selama ini aku sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam Ekaristi. Kupikir selama ini Ekaristi itu sama seperti persekutuan Doa, yaitu memuji dan memuliakan Tuhan, hanya bedanya di dalam Misa ada DSA dan komuni. Aku merasakan bahwa lagu2 dalam misa ini tidak cukup mewakili diriku.

Tapi kini aku tahu bahwa dalam setiap kata dalam lagu itu punya makna yang dalam. Bahwa setiap kata dalam lagu2 itu, bukan semata pengalaman pribadi seseorang seperti lagu2 rohani profan, namun setiap liriknya disusun berdasarkan Kitab Suci dan dasar iman Katolik. Ternyata juga bahwa setiap tata gerak kita itu punya makna, mengapa kita berdiri, mengapa kita berlutut, mengapa kita menepuk dada, mengapa kita memandang, mengapa kita mendengarkan sabda dan bukan membaca sabda, dan bahkan dalam setiap liturgi yang kita rayakan itu semua merupakan Tradisi yang bahkan ada sejak Perjanjian Lama. Ternyata aku tidak mengenal  Gerejaku sendiri.

Apakah sekarang aku sudah menjadi seorang ahli liturgi? Oh tidak… aku masih sangat jauh dari sebutan ahli. Masih banyak sekali yang harus aku pelajari. Masih banyak yang aku belum tahu, dan aku sangat menikmati proses ini. Aku merasa jatuh cinta pada Gereja Katolik untuk pertama kalinya. Setiap kali merayakan Ekaristi, aku tidak pernah merasa bosan lagi. Lagu ordinarium yang dulu hanya lagu2 yang lewat tanpa makna, menjadi lagu yang paling aku nantikan, karena disanalah ungkapan iman itu dinyatakan.

Jika kau bertanya, mungkin aku belum bisa menjawab, karena masih terbatasnya pengetahuanku,tapi akan kucari jawabnya untukmu. Dan jika kau ingin tahu, mari belajar mengenal Gereja Katolik bersamaku. Mari kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Percayalah...bahwa misa tidak akan membosankan lagi.

Aku mengucap banyak terima kasih untuk semua yang sudah membimbing aku selama ini..para ahli liturgi, teman2 di group, page2 Katolik,.... dan jangan bosan jika aku masih akan banyak bertanya.

hidup murni


Hidup Murni
Meskipun saya ini seorang pendosa, jatuh bangun dalam dosa, selalu ada keinginan untuk kembali mengarahkan hidup kepada Tuhan, selalu ada keinginan untuk kembali hidup murni. Bukankah keinginan-keinginan seperti ini adalah tawaran Tuhan untuk menerima pengampunan dari pada-Nya, untuk mendapatkan belas kasih-Nya? Tetapi dalam perjalanan pertobatanku itu, banyak pertanyaan yang membuat saya ragu tentang hidup murni, yang membuat saya jatuh kembali dalam dosa.
Pertanyaan-pertanyaan saya itu dirangkum baik oleh Matt Fradd dalam artikelnya “Metallica and Holiness” (Musik Metalis dan Hidup Suci) di [http://mattfradd.com/metallica-and-holiness/]. Saya bahasakan ulang: banyak orang percaya bahwa hidup murni berarti terkurung, kurang bebas, tidak ada kenikmatan, banyak peraturan. Akhirnya mereka berpikir bahwa jalan ke surga itu ibarat neraka, dan sebaliknya jalan ke neraka itu ibarat surga.
Kadangkala saya berkelakar: dosa itu enak. Di balik ini tersembunyi bahwa hidup murni itu tidak ada kenikmatan, tidak ada kebebasan, tidak ada kegembiraan. Apalagi jika dikaitkan dengan sex. Dan memang hidup murni berkaitan dengan sex.
Bagaimana Setan akan berbicara tentang hidup murni? Setan akan mengatakan: hidup murni berarti tidak boleh melakukan sex. Setan pintar memutar balikkan apa yang Tuhan kehendaki, dan dia ingin kita berdebat dengannya. Jika kita sudah mulai berdebat dengan Setan, kita sudah bisa tebak ke mana kita akan dibawa.
Tuhan menghendaki manusia hidup gembira, menikmati hidup ini sepuasnya, termasuk sex. [Sex di sini saya maksudkan melakukan kegiatan yang berhubungan dengan sex.] Tetapi Tuhan memberi batasan yaitu sex hanya boleh dalam perkawinan yang sah. Melakukan hubungan atau kegiatan sex di luar perkawinan yang sah adalah dosa. Batasan inilah yang menjadi perdebatan. Setan akan meyakinkan kita bahwa hidup murni atau hubungan sex hanya dalam perkawinan sah adalah cara Tuhan membatasi kita untuk menikmati sex. Kita akan semakin didorong untuk menerima bahwa sex adalah segala-galanya. Tidak bebas dalam soal sex, berarti tidak ada kebebasan dalam hidup. Bukankah perjuangan tentang kebebasan selalu berkaitan dengan sex tanpa aturan? Bukankah sex bebas menjadi lambang kebebasan manusia secara khusus kaum perempuan? Setan akan meyakinkan kita bahwa sex itu adalah hak manusia. Tidakkah kita mendengar bagaimana kaum gay dan lesbian menuntut sodomi sebagai hak asasi manusia?
Supaya kita menghentikan debat dengan Setan, kita perlu bertanya mengapa Tuhan membatasi, memberi peraturan. Jangan kita masuk dalam apa yang dikatakan oleh Setan, tetapi apa yang Tuhan maksudkan. Mari kita melihat kata “membatasi.” Membatasi berarti memberi batasan. Memberi batasan berarti memberi arti/makna, mendefinisikan. Membatasi tidak selalu berarti melarang, tetapi memberi arti atau makna. Dengan demikian Tuhan membatasi sex dalam perkawinan yang sah, itu berarti di mata Tuhan sex itu mempunyai makna. Sex mengungkapkan yang terdalam dari manusia untuk bersatu, untuk ambil bagian dalam karya perciptaan yang Tuhan telah mulai. Membatasi bisa juga berarti melindungi. Sex itu suci dan Tuhan ingin sex itu tetap suci, maka dari itu sex hanya bisa dilakukan dalam perkawinan yang sah.
Setan akan meyakinkan kita bahwa sex itu adalah hak kita. Jauhkan diri dari pikiran seperti itu dengan memikirkan bahwa sex itu adalah pemberian Tuhan. Jika sex itu dari Tuhan berarti hanya Dia yang tahu aturan mainnya yang benar. Dan aturannya sederhana: sex hanya untuk suami istri yang menikah secara sah. Sex di luar perkawinan banyak bahayanya. Tidakkah kita mendengar tentang penyakit kelamin yang mematikan? Mungkin kita berpikir, tetapi ada kondom. Kondom selain tidak 100% aman, juga menguras dompet. Ada banyak kebohongan di balik kondom. Kondom selain mempromosikan moral yang bertentangan dengan ajaran Gereja, juga soal bisnis dan kontrol kebebasan manusia.
Jika Setan tidak berhasil, ia akan mencoba yang kelihatan aman dan tidak merugikan orang lain. Masturbasi. Dia akan meyakinkan kita dengan fakta statistik dan alasan psikologis. Semua laki-laki melakukan masturbasi semenjak masa puber. Tetapi apakah kehendak Tuhan dibatalkan dengan statistik, dengan jumlah orang melakukannya? Apakah kehendak Tuhan tidak berlaku karena semua orang melakukannya atau pernah melakukannya? Banyak ahli psikologi yang menulis buku bahwa masturbasi adalah sesuatu yang normal, bagian dari perkembangan hidup sexualitas, untuk mengurangi rasa bersalah. Tetapi jika mereka berusaha mengurangi rasa bersalah yang ditimbulkan oleh masturbasi, tidakkah itu berarti bahwa masturbasi memang menimbulkan masalah? Mengapa kita menguras tenaga, waktu, bahkan uang untuk membenarkan diri, melepaskan diri dari rasa salah karena masturbasi? Supaya jangan ada masalah, jangan melakukan masturbasi. Sepertinya masyarakat kita lebih diarahkan pada bagaimana bermasturbasi tanpa menimbulkan rasa salah, dari pada bagaimana mengontrol diri yang membangun karakter dan rasa percaya diri. Jika Tuhan lewat Gereja-Nya mengatakan bahwa masturbasi itu dosa, tentu ada maksudnya. Tuhan ingin kita bebas dari masalah.
Pornografi adalah bisnis di mana Setan banyak berhasil. Jika tidak pornografi, Setan akan menggunakan kata “erotik.” Selain waktu, tenaga dan uang terkuras, pandangan kita tentang sex tidak lagi seperti yang Tuhan inginkan. Kita akan mempergunakan orang lain sebagai objek pemuasan hawa nafsu. Pornografi tidak memberikan kepuasan, karena sebenarnya bukan sex. Pornografi adalah kebohongan terbesar dan ilusi yang sungguh mengecewakan. Jangan pernah masuk karena sulit keluar. Kita menjadi budak dari hawa nafsu kita sendiri dan dari keserakahan mereka yang membuat pornografi itu. Pornografi adalah bisnis yang mengguntungkan bagi pembuatnya.
Jika tidak mau bermasturbasi atau mengkonsumsi pornografi, tawaran Setan yang lebih sering adalah berpikir cabul, masuk dalam percakapan cabul, suka lelucon cabul. Inilah awal dari dosa-dosa lain yang berhubungan dengan sex. Yesus tidak sungkan-sungkan mengatakan bahwa hanya dengan memandang dan menginginkan seseorang untuk melakukan sex, kita sudah berbuat cabul dalam pikiran kita. Berpikir cabul adalah dosa. Jadi kita perlu mengontrol pikiran kita. Karena dari situlah awal dosa-dosa lain. Jika kita mampu mengontrol pikiran dan hawa nafsu kita, kita tidak akan mudah memberikan uang kita kepada pebisnis pornografi, kondom, pelacuran; kita tidak akan mudah menghinakan dan merusak tubuh kita sendiri dan orang lain; kita tidak akan ketularan penyakit kelamin.
Tapi sejauh ini kita melihat hal yang berbahaya. Belum melihat nikmatnya hidup murni itu. Kita akan melihat hidup itu lebih dari sex, tidak sebatas sex. Kenikmatan itu tidak sebatas sex. Tuhan telah menyediakan banyak kemungkinan bagaimana kita bisa menikmati hidup ini. Kita menjadi lebih kreatif dalam mencari kemungkinan yang ada itu dalam batasan-batasan yang sudah ditentukan. Bukankah orang menjadi lebih kreatif ketika sarana dan prasarana terbatas? Kita akan melihat orang lain lebih dari pada alat kelamin mereka. Hidup semakin nikmat, karena tidak terbatas pada satu sumber saja.
Yang lebih penting lagi adalah hubungan kita dengan Tuhan semakin mendalam. Pikiran kita bersih. Perasaan kita bersih. Kita merasakan keutuhan. Ada kebebasan, bebas dari egoisme, bebas dari perbudakan, bebas dari penyakit, bebas dari ketergantungan, dan yang lebih penting lagi bebas dari dosa. Menarik bukan? Tidak membosankan.
Menutup: Setan tidak akan menyerah. Semakin kita berkembang dalam hidup murni, Setan semakin berpikir bagaimana supaya kita menyerah. Jika perlu ia akan memanggil teman-temannya. Waspadalah selalu dengan doa dan Sakramen Pengakuan.

Katolik? Lebih dari berbuat baik.


Semua ajaran agama itu baik?
Hidup dalam masyarakat majemuk, hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, kita sering mendengar pernyataan-pernyataan yang kedengarannya toleran, baik, menghargai, atau universal, tetapi jika dipikirkan lebih dalam ternyata tidak membawa kita kepada kebenaran apapun. Salah satu contoh: semua agama mengajarkan kebaikan atau kasih, penganutnyalah yang menyalahgunakan ajaran agama mereka untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Kalimat saya ini kurang lebih merangkum apa yang ditulis di FB:
Pernahkah agama Katolik mengajarkan umatnya untuk membenci sesama? Jawabannya adalah tidak benar. Pernahkah agama lain mengajarkan untuk membenci sesama? Jawabannya adalah tidak pernah. Jadi kalau seseorang membenci karena agamanya, itu bukan karena agamanya yang mengajarkan untuk membenci. Bukan agamanya yang sesat. Tapi manusianya yang sesat.
Ada dua hal yang dibedakan dalam pernyataan di atas: 1) ajaran agama itu baik, dan 2) pemeluk agama itu jahat karena ia tidak melaksanakan ajaran agamanya.
Keberatan pertama:
Ada apa dibalik pernyataan “ajaran agama itu baik”? Ajaran agama itu baik karena berasal dari Tuhan.
Ada agama yang tidak mempunyai konsep tentang Tuhan, misalnya Buddhism. Ini membuat kita juga berpikir bahwa ada sistem pemikiran filosofi yang juga mengajarkan tentang kebaikan tanpa mempersoalkan apakah Tuhan itu ada atau tidak ada. Pernyataan “semua agama mengajarkan kebaikan” hanya merugikan agama itu sendiri. Apakah sistem pemikiran filosofi juga akan dimasukkan dalam kategori agama atau agama tidak lebih dari sistem pemikiran filosofi? Maju kena, mundur kena. Ini salah satu permasalahan yang dihadapi jika kita menjadikan kebaikan sebagai pusat dari agama.
Yang mengajarkan kebaikan itu bukan hanya agama. Yang tidak beragama pun bisa berbuat baik. Tetapi untuk kita sebagai Katolik intinya bukan di situ, meskipun kita dituntut juga untuk berbuat baik. (Lihat keberatan ketiga.)
Keberatan kedua:
Jika kita mau menerima bahwa semua agama mengajarkan kasih atau kebaikan, kesulitan yang akan dihadapi setiap agama adalah siapakah yang akan mendefinisikan kasih atau kebaikan itu? Jika kita berikan kepada masing-masing agama untuk mendefinisikannya, tentunya bukan hanya mendapatkan pendapat yang berbeda tetapi bertolak belakang. Supaya aman, ada yang jatuh dalam relativisme: baik menurutmu, belum tentu baik menurutku. Dalam relativisme, jangan kita berharap semua orang benar, karena kebenaran kita akan dinilai oleh mereka yang menganut sistem pemikiran filosofi yang namanya relativisme dan indifferentisme.
Sekali lagi tidak ada gunanya mengatakan bahwa semua agama itu mengajarkan kebaikan.
Keberatan ketiga:
Gereja Katolik pertama-tama bukan soal ajaran kebaikan atau bagaimana mengasihi satu sama lain, tetapi  pada SESEORANG. Dan seseorang ini adalah YESUS KRISTUS. Dalam Gereja Katolik kita bertemu dengan seseorang yang menyelamatkan kita yaitu YESUS KRISTUS. Jika kita akhirnya mengasihi satu sama lain, itu karena Tuhan lebih dahulu mengasihi kita. Bahkan kita mampu mengasihi mereka yang membenci kita, karena ketika kita masih berdosa, Tuhan telah mengasihi kita. Kalau hanya sekedar berbuat baik atau mengasihi, orang yang tidak mengenal Tuhan pun bisa. Tetapi orang yang mengenal BAPA yang telah dinyatakan oleh PUTRA yang telah melimpahkan kuasa-NYA kepada GEREJANYA, akan berfokus pada kasih Tuhan. Lebih lanjut lagi, konsekuensi dari kasih itu adalah pengorbanan, penderitaan. Kita harus berkorban, menderita? Mungkin, tetapi letak penekanannya kita bukan pada diri kita, tetapi pada inkarnasi, salib, dan kebangkitan yang intinya: Tuhan ikut merasakan apa yang manusia rasakan, supaya kita ikut bangkit bersama Dia.
Meskipun singkat dan kurang memadai, masih perlu pendalaman, apa yang saya uraikan di atas tentang pemahaman kasih dari sudut pandang iman Katolik, yang saya mau katakan adalah bahwa iman Katolik itu mengajarkan hal yang berbeda dengan agama-agama lain. Iman Katolik itu intinya tentang SESEORANG, bukan sesuatu.
Keberatan keempat:
Jika seseorang melakukan kejahatan dari mana dia dapatkan? Jika dikatakan dari si Setan, ada agama yang mengajarkan bahwa itu hanyalah ketidaktahuan, belum mengerti (ignorance). Kita akan kembali ke persoalan apa itu “kejahatan” dan siapa yang akan mendefinisikannya?
Keberatan kelima:
Apakah ajaran agama sama sekali lepas dari campur tangan manusia? Pemahaman wahyu dan campur tangan Tuhan itu dalam Gereja Katolik berbeda dengan agama-agama lainnya.
Kesimpulan: sebagai orang Katolik, kita tidak hanya mempertanggungjawabkan iman kita di hadapan pemeluk agama lain tetapi juga di hadapan mereka yang menganut paham relativisme, indifferentisme, sekularisme, sinkritisme. Mengatakan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan, mungkin kita bukan Katolik bahkan bukan orang beragama.

Menggugat EENS (3): semua agama mengajarkan kebaikan!


Menggugat
Extra Ecclesiam Nulla Salus:
(3) Semua agama mengajarkan kebaikan!
Bagaimana mungkin orang-orang yang di luar Gereja Katolik yang hidupnya baik bahkan lebih baik dari sebagian besar orang-orang Katolik, tidak selamat hanya karena mereka bukan Katolik? Pertanyaan ini sering dilontarkan untuk menggugat ajaran Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS = di luar Gereja tidak ada keselamatan).
Apakah yang dimaksud dengan hidup baik? Secara moral? Jika itu diartikan hidup baik secara moral, pertanyaan berikutnya: moral menurut siapa atau menurut agama apa? Baiklah kita mengambil pendapat yang menyatakan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Contoh konkritnya semua mengajarkan supaya mencintai satu sama lain, menghargai satu sama lain, membantu satu sama lain, menolong orang miskin dan mereka yang ada dalam kesusahan dan penderitaan, beramal, tidak membunuh.... tapi tunggu dulu. Kita berhenti di “tidak membunuh.” Apakah semua agama mengerti hal yang sama? Mungkin jawaban yang kita bisa dapatkan: jika terjadi teroris, perang, aborsi, hukuman mati, penindasan, diskriminasi atas nama agama, itu karena salah tafsir atau salah mengerti apa yang diajarkan oleh agama. Meskipun demikian, perbedaan pengertian sudah menyatakan bahwa yang namanya hidup baik tergantung pada ajaran agama masing-masing. Dalam beberapa hal moral yang diajarkan oleh agama lain bertentangan dengan Gereja Katolik.
Jika kita membandingkan seorang Katolik yang koruptor dengan seorang pengikut Buddha yang selalu membayar pajak sesuai dengan aturan dan tepat waktu, mau tidak mau kita akan berpikir mana mungkin pemeluk Buddha ini tidak bisa selamat hanya karena ia bukan anggota Gereja Katolik? Beberapa keberatan: 1) apakah pengikut Buddha ini mau selamat seperti yang Gereja Katolik ajarkan? 2) lepas dari perbedaan pengertian akan keselamatan atau akhir hidup manusia, apakah kita sudah melihat seluruh kehidupan dari pengikut Buddha ini sehingga kita menyimpulkan bahwa ia baik? 3) apakah kita mengenal agama Buddha, sehingga kita tahu bagaimana hidup baik menurut agama Buddha itu? 4) mengapa kita membandingkan orang Katolik yang koruptor dengan pengikut Buddha yang tidak koruptor? Cara membandingkan seperti ini adalah strategi untuk merelativisasi atau menggugat sebuah kebenaran.
Kita tidak bisa menilai keselamatan seseorang baik yang Katolik, terutama yang beragama lain dari hidup moralnya karena kita tidak tahu seluruh hidupnya, setiap agama mengajarkan hidup moral yang berbeda, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran moral Katolik, dan kita tidak bisa tahu kecuali dia sendiri sejauh mana dia bergantung pada belas kasih Tuhan. Mungkin dia menginginkan akhir hidup yang berbeda dengan yang ditawarkan oleh Tuhan lewat Gereja-Nya.

Menggugat EENS: 2. Bukan agama, tapi Tuhan yang menyelamatkan.


Menggugat
Extra Ecclesiam Nulla Salus:
(2) Bukan agama, tapi Tuhan yang menyelamatkan!
Pernyataan bahwa Tuhan yang menyelamatkan, bukan agama, dapat berarti bahwa orang selamat bukan karena agama yang dianutnya, tetapi semata-mata karena belas kasih Tuhan. Itu juga berarti bahwa orang selamat bukan karena menjadi anggota Gereja Katolik tetapi karena semata-mata belas kasih Tuhan. Berangkat dari pemahaman seperti ini, bagi sebagian orang, ajaran Extra Ecclesiam Nulla Salus (EENS = di luar Gereja tidak ada keselamatan) tidak mempunyai makna lagi, bahkan tidak berlaku lagi.
Kita mulai dari pernyataan: orang selamat semata-mata karena belas kasih Tuhan. Justru dalam Gereja Katolik-lah pernyataan ini terlaksana secara penuh dan utuh. Orang-orang Katolik selamat semata-mata karena belas kasih Tuhan, bukan karena usaha mereka. Jelas orang-orang Katolik berusaha menaati perintah Tuhan dan menjauhi larangan-Nya, tetapi tidak selalu setia. Mereka sering jatuh dalam dosa. Tidak setia atau jatuh dalam dosa berarti hubungan dengan Tuhan tergangu bahkan terputus. Mereka tidak bisa menghapus dosa mereka dengan usaha mereka sendiri seperti perbuatan baik. Jadi mereka sungguh mengharapkan belas kasih Tuhan dan mereka mendapatkan belas kasih Tuhan itu lewat sakramen-sakramen yang Tuhan sendiri telah berikan kepada Gereja-Nya.
Tuhan memang yang menyelamatkan, tetapi bagaimana Tuhan menyelamatkan? Itulah yang harus dipertanyakan oleh mereka yang menentang EENS. Tuhan menyelamatkan manusia bukan sebuah ide, tetapi kenyataan yang Tuhan sudah tawarkan lewat Gereja-Nya. Itulah sebabnya rumusan positif dari EENS itu adalah bahwa untuk selamat, manusia memerlukan Gereja.