Yesus bangkit secara badaniah!


Yesus Bangkit
Karena waktu masih banyak sebelum berangkat ke paroki Santissima Trinita dei Pellegrini (FSSP) di Roma untuk mengikuti Vigil Paskah dalam forma ekstraordinaria, saya menulis sedikit permenungan seputar kebangkitan Yesus.
Dari kecil sampai sekarang, setiap kali mendengar Injil tentang kebangkitan Yesus, saya mengertinya seperti yang tertulis (literal). Saya percaya bahwa Ia bangkit. Saya telah banyak mendengar dan membaca penjelasan, pertanyaan, keberatan dan perdebatan yang mengatakan sebaliknya. Ada banyak orang yang berkeliling ke sana ke mari baik yang beragama maupun yang tidak percaya akan Tuhan mengatakan bahwa kebangkitan Yesus itu adalah omong kosong, mustahil, dogeng, kekanak-kanakan.
Apakah orang dewasa seperti saya masih percaya bahwa Yesus bangkit secara badaniah? Ya.
Tentunya kita tahu benar cerita tentang orang kaya dan Lazarus yang miskin di Injil Lukas (16,19-31). Di bagian terakhir dari cerita tertulis demikian: “... mereka tidak juga akan mau diyakinkan, sekalipun oleh seorang yang bangkit dari antara orang mati” (Luk 16,31). Kita harus ingat bahwa cerita ini menyangkut keselamatan dan siksaan kekal yang menunggu setiap orang setelah kematian. Banyak nabi telah mengumandangkan tentang adanya neraka dan surga yang menunggu manusia.
Demi keselamatan kita, apakah kita hendak menolak seseorang yang telah bangkit dari kematian bahkan yang sudah turun ke neraka? Yesus menderita, mati, dan bangkit demi keselamatan kita. Jika kita menolak bahwa Yesus sungguh bangkit secara badaniah, kita sudah mencelakakan diri sendiri, kita sudah menentukan pilihan kita.
Rasul Yohanes, demikian juga penginjil lainnya, menulis tentang Yesus supaya kita percaya dan beroleh hidup dalam nama-Nya (bdk. Yoh 20,30-31).
Kebangkitan Yesus adalah alasan untuk merindukan surga. Jika Dia tidak bangkit, maka sia-sialah iman kita (bdk 1 Kor 15,14).
Amin.

Mengaku dosa langsung kepada Tuhan? Menipu diri sendiri.


Mengaku dosa langsung kepada Tuhan?
Menipu diri sendiri.
Saya semakin mencintai Sakramen Pengakuan Dosa yang juga disebut Sakramen Tobat, Pengampunan, atau Rekonsiliasi. Sebagai orang yang sering jatuh dalam dosa, sebenarnya perasaan malu adalah alasan utama mengapa saya tidak pergi mengakukan dosa-dosa saya kepada seorang imam, dan akhirnya mengatakan pada diri sendiri bahwa saya mengaku dosa saja langsung kepada Tuhan. Padahal jika kita malu pergi mengakukan dosa kita kepada seorang imam, justru itu bisa menjadi alasan yang baik untuk pergi mengaku dosa. Secara tidak langsung kita mengakui bahwa kita malu akan dosa-dosa kita. Dari pada berusaha membenarkan perasaan malu dengan mengatakan bahwa kita bisa mengaku dosa langsung kepada Tuhan, lebih baik dan lebih berguna kita melawan perasaan malu ini dengan merenungkan bahwa kita menipu diri sendiri dengan mengatakan: “Saya mengaku dosa langsung saja kepada Tuhan.”
Saya kuatir kita hanya menipu diri sendiri ketika kita mengatakan bahwa kita mengaku dosa langsung kepada Tuhan, karena pikiran kita mampu membayangkan bahwa Tuhan itu ada dan hadir di hadapan kita, tetapi ini tidak menjamin bahwa Tuhan itu sungguh hadir. Kehadiran Tuhan itu sunggguh nyata, tidak hanya hasil buah pikiran, ketika kehadiran Tuhan itu dimediasi, dinyatakan lewat hal-hal konkrit, atau memakai perantara. Dan inilah yang disebut sakramen. Mengapa perlu ada perantara atau sakramen? Karena kita ini adalah manusia yang tidak hanya mempunyai pikiran tetapi juga badan yang dilengkapi dengan pancaindra. Kita bukan malaekat. Kalau kita hanya mengandalkan pikiran kita, kita akan menipu diri kita sendiri, kita jatuh dalam ilusi, kita percaya pada hasil pikiran kita sendiri, karena pikiran itu memiliki kemampuan membayangkan sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
Ibaratnya ketika kita mencuri, kita tahu tidak ada orang yang melihat, semua lagi tertidur lelap atau keluar rumah, tetapi tetap juga kita merasa takut, karena pikiran kita menciptakan ilusi bahwa ada saja orang lain yang sedang melihat kita. Atau sebaliknya, kita memberanikan diri meloncati pagar, membongkar jendela dan masuk mencuri, karena pikiran kita membayangkan bahwa tidak ada yang melihat, padahal ada kamera keamanan yang lagi mengintip kita.
Kita lanjutkan cerita mencuri ini. Kita merasa bersalah dan berniat untuk meminta maaf kepada orang yang telah kita rugikan. Kita mulai membayangkan apa yang hendak kita katakan kepada orang tersebut. Kita juga mulai membayangkan reaksi dari orang tersebut. Kita membayangkan sedang meminta maaf kepada dia. Kita berjanji dalam pikiran kita untuk tidak melakukannya lagi, bahkan berjanji untuk mengembalikan apa yang telah kita curi. Tetapi jika ada perasaan malu atau takut tiba-tiba muncul dan  menjadi lebih kuat, apalagi tidak ada yang tahu bahwa kita sudah mencuri, kita mulai membenarkan diri untuk tidak pergi meminta maaf. Kita mulai mengikis perasaan bersalah itu dengan berjanji tidak akan melakukannya lagi, bahkan perasaan bersalah itu hilang ketika kita akhirnya mengembalikan apa yang kita curi itu secara diam-diam pula. Apakah kita sudah minta maaf dan sudah dimaafkan? Tentunya tidak. Perasaan bersalah bisa hilang atau dengan diam-diam kita sudah mengembalikan barang yang kita curi, tetapi itu tidak berarti bahwa kita sudah minta maaf dan dimaafkan. Kita sendirilah yang membayangkan bahwa kita sudah minta maaf dan dimaafkan. Jadi karena kemampuan pikiran membayangkan atau memproyeksikan, kita bisa menipu diri sendiri.
Karena kita manusia yang tidak hanya mempunyai pikiran tetapi juga badan yang dilengkapi oleh pancaindra, kita membutuhkan mediasi, perantara, atau sakramen untuk mengalami kehadiran Tuhan secara nyata. Jika kita mengaku dosa langsung kepada Tuhan, sesungguhnya yang terjadi adalah kita berbicara terhadap diri kita sendiri dan mendengarkan diri kita sendiri yang berarti kita mengampuni diri kita sendiri. Kita menipu diri sendiri.
Imam (pastor/romo) adalah in persona Christi ketika ia mendengarkan pengakuan dosa-dosa kita dan ketika memberikan absolusi kepada kita. Ketika kita pergi mengaku dosa kepada imam, kita sesungguhnya mengaku dosa kepada Tuhan. Di sini pikiran kita tidak sedang dan tidak bisa membayangkan atau mengada-ngada bahwa kita berada di hadapan seseorang, karena memang kita sungguh-sungguh berada di hadapan seseorang yang mendengarkan pengakuan dosa kita. Kita tidak bisa membayangkan atau berangan-angan Tuhan sedang berbicara kepada kita, karena memang kita sungguh-sungguh berada di hadapan seseorang yang sedang memberi kita nasehat, penitensi dan absolusi. Kehadiran seseorang yang nyata membuat kita tidak jatuh dalam ilusi atau menipu diri sendiri. Berada di hadapan seseorang yang sungguh nyata, kita tidak bisa menasehati diri sendiri, memberi penitensi untuk diri sendiri dan mengampuni diri sendiri. Kita akan membiarkan orang yang ada di hadapan kita untuk menasehati kita, memberi kita penitensi, dan mengampuni kita. Mungkin kita berkeberatan dengan kenyataan bahwa yang mendengarkan dosa-dosa saya adalah imam bukan Tuhan. Menjawab keberatan ini kita kembali pada kenyataan yang mendasar bahwa kehadiran Tuhan itu dimediasi, membutuhkan perantara, atau kehadiran sakramental. Tidak bisa tidak. Jika kita menolak kenyataan mendasar ini, berarti kita percaya pada sesuatu yang merupakan hasil pemikiran kita.

Mau ke mana ketika meninggal?


Merindukan Surga
Memasuki Pekan Suci, saya ingin menulis apa yang sering menjadi permenungan tentang hal-hal terakhir yang menunggu manusia: kematian, penghakiman, surga dan neraka. Kematian sepertinya jelas. Setiap orang akan meninggal. Suka atau tidak. Setuju atau tidak. Kita akan meninggal. Tetapi apakah yang terjadi sesudah kematian? Ini yang menjadi perdebatan. Tentunya kita bisa mengatakan sesuatu sebagai pengamat dari luar tentang apa yang dialami oleh mereka yang sudah mendahului kita. Tubuh mereka akan hancur. Berangkat dari pengamatan seperti ini, tidak sedikit orang berpikir bahwa hidup ini hanya sekali saja dan kematian adalah akhir dari segala-galanya. Sesudah kematian, tidak ada apa-apa lagi selain debu yang tersisa. Cara berpikir seperti ini tidak selalu datang dari mereka yang tidak percaya pada Tuhan. Orang-orang beragama pun tergoda berpikir demikian. Namun jika ada orang beragama yang berpikir seperti itu ada dua kemungkinan yang dimaksudkan. Pertama, orang tersebut tidak memikirkan agama dengan serius. Ia hanya beragama karena tuntutan masyarakat. Kedua, orang tersebut bergumul dengan pertanyaan seputar kematian. Ia mempertanyakan makna hidupnya. Jawaban yang ia temukan akan membuatnya serius tentang agama atau menjadikannya orang tidak beriman.
Kembali ke pemikiran bahwa kematian adalah akhir dari hidup ini, atau tidak ada apa-apa sesudah kematian bagi yang meninggal. Tentunya kita yang hidup melihat bahwa ketika seseorang meninggal, masih ada yang berlanjut yaitu tubuhnya menjadi debu, warisan genetik dalam anak cucunya, buah karyanya bisa dilihat bahkan diabadikan. Jadi masih ada yang tersisa tentang dia yang meninggal. Tetapi ini menurut kita yang melihat dari luar. Bagaimana dengan yang meninggal itu sendiri. Jika kita meninggal apakah kita merasakan apa yang kita lihat ketika orang lain meninggal. Apakah meninggal itu sungguh tidur yang panjang? Tidak ada apa-apa lagi.
Setiap agama menawarkan jawaban. Jawaban mereka pun berbeda satu sama lain. Ada yang mengatakan bahwa sesudah kematian ada reinkarnasi. Kesadaran (bukan roh atau jiwa) dari orang yang meninggal akan lahir kembali. Jika hidupnya buruk sebelum meninggal, kemungkinan akan lahir sebagai kecoak. Jika hidup sebelumnya baik, hidup kemudian akan menjadi lebih baik, dan akhirnya akan keluar dari penderitaan. Tetapi akhir dari reinkarnasi ini adalah ketiadaan.
Ada juga yang menawarkan adanya surga dan neraka. Tetapi gambaran tentang surga dan neraka berbeda dari agama ini dan itu. Ada yang menawarkan surga dan neraka yang amat lahiria. Laki-laki yang terbunuh demi agama akan mendapatkan perawan. Demikian juga dengan neraka yang digambarkan dengan jelas yang penuh dengan siksaan seturut dengan perbuatan kita di dunia ini. Misalnya orang terpotong tangannya tiada hentinya karena mencuri. Bagaimana dengan yang berbuat cabul?
Lantas bagaimanakah iman Katolik? Ungkapan yang tepat menggambarkan tentang apa yang kita alami sesudah kematian adalah “hidup bersatu dengan Tuhan.” Dengan demikian surga berarti bersatu dengan Tuhan, sedangkan neraka berarti terpisah dari Tuhan. Sungguh kenyataan rohania.
Mereka yang percaya bahwa surga dan neraka tidak ada tentunya sudah memilih terputusnya hubungan dengan Tuhan. Mungkin mereka menolak neraka yang penuh siksaan anggota tubuh, tetapi mereka memilih neraka di mana hubungan dengan Tuhan terputus. Mereka yang percaya reinkarnasi, akhirnya sampai pada ketiadaan, tentunya telah memilih di mana kembali berhubungan dengan Tuhan tidak mempunyai tempat. Mereka yang percaya pada surga dan neraka yang lahiriah, tentunya kecewa dan akhirnya menjauh juga dari Tuhan.
Mungkin kita belum bahkan tidak pernah selama persiarahan kita di dunia mendapatkan gambaran yang jelas tentang surga dan neraka, tentang bagaimana itu rasanya bersatu dengan Tuhan atau terpisah dari Tuhan. Tetapi dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai orang beriman Katolik, kita sudah samar-samar mengalami apa yang menunggu kita di akhir persiarahan kita di dunia ini. Apakah yang membuat hubungan kita dengan Tuhan terputus? Dosa. Apa yang kita alami ketika kita larut dalam dosa? Bandingkan dengan apa yang kita alami ketika kita mendapatkan absolusi dari imam di kamar pengakuan? Apa yang membuat hubungan kita dengan Tuhan terjalin? Tuhan sendiri. Apa yang kita alami ketika kita menyambut Tubuh Kristus? Bandingkan saat tidak bisa hadir dalam Perayaan Ekaristi.
Jika kita merindukan surga, jika kita percaya akan janji Tuhan, jika kita mengimani apa yang Tuhan sendiri katakan tentang penghakiman terakhir, surga dan neraka, kita akan menjalani hidup kita di dunia ini berbeda sekali. Kita akan bergantung pada kerahiman Tuhan, pada belas kasih Tuhan. Tidakkah kita melihat bagaimana penganut agama lain berusaha keluar dari karma yang mereka percaya? Tidakkah kita melihat bagaimana penganut agama lain berusaha membersihkan diri dari yang haram dan najis? Tidakkah kita melihat bagaimana mereka yang tidak percaya lari dari kenikmatan yang satu ke kenikmatan yang lain?
Tetapi ada yang melontarkan keberatan misalnya jalan ke surga itu membosankan, tidak ada kesenangan sama sekali, banyak aturan. Atau ada yang menyerang iman Katolik misalnya percaya pada tiga tuhan, menyembah patung. Mungkin kita belum mempunyai kata-kata yang tepat menjawab semua keberatan dan serangan yang ada, mungkin banyak hal yang belum kita mengerti, tetapi jika kita yakin bahwa keselamatan hanya dalam Gereja Katolik, kita tidak akan goyah. Setan di taman Eden sungguh cerdik dan pintar. Dia bersama pengikutnya tidak kehilangan akal untuk mencari penghuni neraka. Tetapi satu kita yakin: Orang Katolik sudah berada pada jalan yang benar. Kita tinggal berjalan ke mana Bapa menunggu kita. Selama perjalanan mungkin kita jatuh bangun, tetapi tidak usah kuatir. Tuhan telah menyediakan sakramen-sakramen lewat Gereja-Nya untuk itu. Selamat memasuki Pekan Suci.

Demi Tuhanku dan Allahku


Demi Tuhan dan Allahku
Di penghujung hari Tuhan ini (6 April 2014), saya membaca dua pengalaman umat yang pertama kali mencoba menerapkan sikap hormat yang pernah menjadi bagian dari kehidupan menggereja saat menghadiri Kurban Misa Kudus. Sikap yang saya maksud itu adalah memakai mantilla (kerudung) dan komuni di lidah sambil berlutut. Kedua sahabat ini (kami berkenalan di FB) berusaha menerapkan apa yang telah menjadi kebiasaan dalam Gereja ketika berhadapan dengan Sakramen Mahakudus. Memakai mantilla bagi wanita adalah sikap yang menunjukkan secara nyata kerendahan hati dan hormat di hadapan Tuhan. Demikian juga dengan komuni di lidah sambil berlutut.
Dari cerita mereka (tidak perlu menyebut nama mereka di sini, ada banyak orang-orang yang dipuji oleh Yesus yang tidak disebutkan namanya), menerapkan iman yang semakin bertumbuh tidaklah gampang. Kita dihantui oleh pikiran-pikiran negatif: orang lain mengatakan apa nanti, aduh saya akan menjadi perhatian. Atau kita merasa risih, malu, bahkan bergulat apa mau lakukan atau tidak. Kita bahkan keringat, tidak konsentrasi ikut Misa karena sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala, berusaha menenangkan diri, mungkin sekali-kali badan terasa bergetar. Saya kira ini adalah hal yang wajar setiap kali kita melakukan sesuatu yang kurang lazim.
Pelan-pelan perasaan negatif seperti ini akan pudar digantikan oleh sikap hormat yang semakin besar terhadap Sakramen Mahakudus. Perhatian kita bukan lagi terhadap sekeliling kita termasuk komentar mereka tetapi terhadap Tuhan.
Sikap lahiriah seperti memakai mantilla atau berlutut mengungkapkan secara nyata iman kita yang mana kata-kata tidak mampu menyatakannya. Sikap seperti ini menyatakan bahwa yang kita terima sungguh Tubuh Kristus, sungguh Tuhan dan Allah kita.
Kita bisa melihat dari sisi lain. Sikap ini membantu kita semakin percaya. Mungkin kita tidak pernah berpikir serius tentang Sakramen Mahakudus, tetapi dengan memaksa diri berlutut dan komuni di lidah atau memakai mantilla bagi wanita, pikiran kita pula akan dipaksa untuk menerima bahwa yang ada di hadapan kita sungguh Tubuh Kristus.
Cerita kedua sahabat itu meneguhkan panggilan saya sebagai imam. Semoga saya pun semakin serius dan hormat dengan Kurban Misa. Tidak selalu demikian bagi seorang imam, karena mungkin terlalu terbiasa atau terlalu pintar, akhirnya yang sakralpun menguap.

Utak-atik liturgi atas nama perubahan dlm sejarah


Karena belajar dari sejarah,
Misa bisa diubah-ubah?

Kutipan berikut kurang lebih menyatakan alasan di balik para klerus yang suka berkreativitas (menambah, mengurangi, mengubah kata, sikap badan, materi) dalam Misa.

“Are you completely unaware of the historical development of the liturgy? Do you seriously think Holy Mass came down from heaven in the shape of the 1962 Missal? Can you talk about the sacrilege involved in altering the liturgy, when Church history shows that the liturgy has been created by an endless series of alterations?” [M. Mosebach, The Heresy of Formlessness. The Roman Liturgy and Its Enemy, p. 32.]

Saya bahasakan ulang secara bebas: Mereka (terutama kaum klerus) yang suka mengutak-atik bagian-bagian Misa entah itu kata, sikap badan, susunan, bacaan, doa, materi, orang-orang yang terlibat) mendasarkan kreativitas mereka atas kenyataan bahwa Misa itu mengalami perkembangan dalam sejarah. Rubrik Misa 1962 seperti yang kita miliki sekarang itu tidak jatuh dari langit. Apakah kita akan berbicara tentang dosa sakriligi ketika liturgi adalah hasil dari penambahan dan pengurangan yang tidak pernah habis?

Jawabannya adalah sebagai berikut:

Of course the rite is constantly changing on its journey through the centuries! It does this without anyone noticing and without the process having to involve any arbitrary interference. Historical beings that we are, we are subject to the spirit of the age in which we live; we have to see with its eyes, hear with its ears, and think according to its mentality. Changes to an ancient action that are brought about through the shaping hand of history have no author as such; they remain anonymous, and – what is most important – they are invisible to contemporaries; they emerge into consciousness only after generations. Changes and gradual transformations of this kind are never “reforms”, because there is no explicit intention behind them to make something better. A feature of the Church’s most precious store of wisdom was that she had the ability to look down from a great height on this historical process, as on a broad river, recognizing its irresistible power, cautiously erecting dams here and there or redirecting secondary streams into the main channel. Since Holy Mass had no author, since a precise date could be allotted to practically none of its parts – as sally incorporated into the Mass – everyone was free to believe and feel that it was something eternal, not made by human hands. [M. Mosebach, p. 34-35.]

Tidak usah kuatir jika kita sudah lupa pelajaran bahasa Inggris dari bangku sekolah. Saya akan bahasakan ulang.

Tentunya Rubrik 1962 itu adalah hasil perubahan. Tetapi bukan perubahan sembarangan. Perubahan yang dialaminya itu terjadi dalam waktu yang panjang, tidak diketahui siapa yang melakukannya, tidak kelihatan bahwa perubahan sedang terjadi bagi mereka yang mengalaminya dan hanya terlihat setelah beberapa generasi lewat, perubahan yang tidak pernah sengaja dilakukan. Maka dari itu orang sampai mengatakan bahwa Misa itu adalah sesuatu yang kekal bukan buatan manusia.

Berikut tambahan permenungan saya:

Kadangkala orang (khususnya imam) mau mengubah sekedar untuk mengubah. Hari ini demikian, besok lain lagi. Tergantung situasi. Jika setiap kali terjadi perubahan akhirnya yang kita dapatkan adalah Misa hasil rekaya manusia semata. Orang seenaknya mengubah bagian-bagian liturgi karena merasa bahwa pengamatan mereka akan sejarah memberi mereka otoritas untuk melakukannya. Kita tidak bisa menggunakan pengamatan sejarah ini untuk membenarkan tindakan sesaat kita. Perubahan tidak dimaksudkan dalam arti reform. Perubahan haruslah terjadi tanpa diketahui, tanpa disadari, tanpa dimaksudkan, karena Misa lebih tua dari kita dan nenek moyang kita, bahkan lebih tua dari dunia. Biarkanlah diri kita diubah oleh liturgi atau Misa.

Kurban Misa yang kita persembahkan bukanlah untuk menghibur sesama manusia, tetapi untuk menyembah BAPA lewat PUTRA-Nya Tuhan kita Yesus Kristus. Salah satu alasan mengapa saya semakin semangat dan percaya diri untuk merayakan Kurban Misa Forma Extraordinaria, karena tidak ada cela untuk berkreativitas. Kita sungguh diarakan kepada BAPA, baik kata dan sikap. Dengan mengucapkan kata yang tertulis dan melakukan gerakan yang telah ditentukan, saya merendahkan diri di hadapan apa yang Gereja telah wariskan dari Tuhan sendiri. Gereja memberikan kata dan sikap kepada kita supaya kita tidak meraba-raba dalam ketidakpastian kata dan sikap mana yang tepat untuk menyembah BAPA. Supaya manusia yakin bagaimana seharusnya menyembah TUHAN, IA memberikan kepada kita lewat Gereja-Nya cara menyembah DIA yang tepat. Tidak hanya itu, IA sendiri yang menyediakan kurbannya yaitu PUTRA-Nya sendiri.

Apakah kita terlalu pintar sehingga kita menemukan kata dan sikap yang lebih tepat, benar dan indah dari yang TUHAN sendiri telah berikan? Tuhan sudah menyediakan, tinggal yang dituntut dari kita adalah KETAATAN. Mungkin kita protes: tetapi bukankah TUHAN memberi kita otak untuk berpikir? Betul. Tetapi mungkin saja TUHAN memberi kita otak cemerlang supaya kita berpikir bagaimana kita menaati DIA, bukan membangkang melawan DIA.

Jika kita memang harus belajar dari sejarah, kita seharusnya belajar dari apa yang terjadi di awal sejarah manusia. Karena Adam dan Hawa ingin seperti TUHAN, karena mereka tidak taat kepada satu-satunya larangan yang TUHAN berikan, mereka diusir dari taman Eden. Jika kita berpikir bahwa kata dan sikap kita lebih indah, tepat, dan benar dari yang diberikan oleh TUHAN lewat Gereja-Nya, Misa yang kita maksudkan sebagai kurban penyembahan kepada BAPA menjadi kutukan atas diri kita sendiri.

Percaya dengan Lutut. Maksudnya?


Percaya dengan Lutut.
M. Mosebach (seorang penulis, awam, pencinta Misa FE) menulis: “We believe with our knees, or we do not believe at all.” Yang kurang lebih mengatakan: kita percaya dengan lutut kita atau kita tidak percaya sama sekali. Ini dalam konteks menghadiri Kurban Misa. Orang-orang Katolik percaya bahwa yang mereka terima saat komuni adalah Tubuh Kristus sendiri. Yang menjadi pertanyaan: bagaimana kepercayaan itu sungguh nyata? Mosebach menulis lebih lanjut demikian (saya bahasakan ulang): Orang berlutut saat komuni karena ia percaya bahwa Sang Pencipta hadir dalam hosti. Hal ini sungguh bahan tertawaan dan ejekan di banyak tempat, dan kita harus bersyukur kepada Tuhan karena itu.
Jika kita mengamini bahwa saat komuni kita menerima Tubuh Kristus, kita menerima Tuhan, iman ini jangan hanya tinggal di pikiran saja tetapi juga harus nyata dalam gerakan tubuh misalnya berlutut. Orang yang bukan Katolik bisa berpikir seperti kita, tetapi apakah mereka akan berani berlutut di hadapan Tubuh Kristus? Kita terlalu banyak memakai kepala dalam beriman, tetapi jarang dengan anggota tubuh yang lain yang mana tidak kalah pentingnya. Tanpa banyak berkata apa-apa, mereka yang menerima komuni di lidah sambil berlutut menyatakan iman mereka secara mendalam.
Pikirkan ini. Siapa yang sering disuap? Orang yang tidak berdaya. Kita adalah orang-orang yang tidak berdaya di hadapan Tuhan. Berlutut di hadapan orang lain? Tanda hormat dan kerendahan. Kita hormat dan merendahkan diri di hadapan Tuhan. Marilah kita menyembah Tuhan tidak hanya dengan kata-kata tetapi juga sikap badan yang mana lebih menyatakan apa yang kata-kata tidak mampu mengungkapkannya.
Tuhan membekati.

Misa membosankan? Seorang umat menjawab.


Tulisan berikut adalah permenungan dari sdri Lia Krisna di fb, sesudah minta ijin, saya kutip seluruhnya untuk kita (awam dan imam) renungkan. Terima kasih kepada sdri Lia. Selamat merenungkan.

“Apakah kau juga merasa bahwa Misa itu membosankan seperti yang kurasakan?”

Paskah sebentar lagi akan datang, aku mulai berpikir, aku akan berbuat apa tahun ini? Lagu2nya mau cari dimana nih yg meriah? KAlo bisa yg tingkat kesulitannya tinggi…biar makin semarak. Tarian anak2??? Wooo bisa kayanya…tinggal koordinasi dengan anak2 sekolah minggu. Jumat Agung pagi mau buat apa? Mau tablo orangnya kurang…pada keluar kota omk-nya … susah buat latian. Yg paling sederhana akhirnya terpikirkan… jalan salib seperti biasa…hanya stasinya dipindah ke luar…namun tetap berakhir dalam gereja. Biar makin serem dan lebih mengharukan…dan makin terasa “duka”nya…aku siapkan beberapa sound efek, music instrument yang sedih, dan tak ketinggalan yaitu puisi. Weeeiiis walao hidup di stasi, bukan berarti tidak bisa berkreasi.

Misa kudus itu menurutku perlu dibenahi, harus ikut perkembangan jaman, lagu2nya harusnya up to date. Apalagi hari raya, harus beda …jangan sampai umat bosan dengan misa yang lama. Sudahlah doa2nya cuma dibaca Romo, lagu2nya “nglaras”..bikin ngantuk, kotbah Romo pun datar2 saja. Harusnya Romo itu kalau kotbah yang hidup, semangat, kalau perlu jalan2 ke umat, wawancara dengan umat, biar umatnya ga ngatuk.”

Itulah yang aku lakukan beberapa tahun lalu. Dan semua itu kulakukan dengan senang hati, dengan tujuan mulia, supaya misa meriah dan umat tidak bosan.

Namun suatu saat aku terbentur dengan yang namanya liturgi. Selama ini aku aktif di gereja, bahkan masa kecilku tinggal di gereja, alm bapakku diakon permanen. Tentunya aku ngerti dong apa liturgi itu. Dan semua itu kulakukan atas nama liturgi juga. Apa sih liturgi itu? Warna baju, urutan misa, bacaannya, mazmurnya, perlengkapan misa…oooh tahu semua itu aku. Dan yang kulakukan tidak pernah dapat teguran, bahkan dapat pujian…jadi tentu saja itu artinya sah.

Namun suatu hari, Romo mulai mengenalkan liturgi yang agak beda. Ini tidak boleh lagi masuk dalam misa, lagu ini lagu profan, tarian itu harusnya pakai music secara life, bukan kaset, lalu berkembang lagi, tarian itu fungsinya apa sih? Apa dengan tarian itu hati umat makin bisa meresapi makna persembahan? Atau tarian ini sbg sarana tampil anak2 kita?

Woooh makin bingung aku… Kenapa ternyata liturgi begitu kaku??? Kenapa semua dilarang? Kenapa inkulturasi dan kreasi menjadi sulit? Gereja makin ga asyik. Pantas saja banyak umat lari ke tetangga, mencari sesuatu yang semarak, meriah, tepuk tangan, tarian, kotbah yang berapi-api, dsb.

Ditengah kebingungan dan kebosananku, Tuhan dengan caranya menarik aku dalam suatu komunitas orang2 yang mengerti liturgi. Aku merasa Tuhan sangat mencintai aku karena aku tidak dibiarkan larut dalam ketidak-tahuanku. Bersama orang2 hebat ini aku banyak belajar apa itu Ekaristi, apa yang terjadi disana. Dari orang2 hebat ini aku jadi tahu bahwa Gereja kita ini punya begitu banyak dokumen, magisterium, Tradisi Suci yang selama ini orang banyak bertanya “Tradisi yang mana yang diwariskan?”, sejarah gereja, perbedaan2 antara Katolik dan Protestan yang kupikir selama ini sudah kupahami tapi ternyata tidak, tata gerak dalam misa, arti dalam setiap perayaan, dan banyaaaaak lagi yang selama ini tidak kuketahui.

Di titik ini aku merasa…”OH SELAMA INI AKU SUDAH MENYIA-NYIAKAN EKARISTI”. Kemarin aku merasa bahwa Gereja ini “miskin”…namun sekarang aku merasa Gereja sungguh “kaya”. Ekaristi yang dulu kurasa membosankan, terasa lama dan tanpa isi, bahkan ga tau apa kotbah Romo, apa sabda Tuhan, bahkan sebenarnya selama ini aku sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam Ekaristi. Kupikir selama ini Ekaristi itu sama seperti persekutuan Doa, yaitu memuji dan memuliakan Tuhan, hanya bedanya di dalam Misa ada DSA dan komuni. Aku merasakan bahwa lagu2 dalam misa ini tidak cukup mewakili diriku.

Tapi kini aku tahu bahwa dalam setiap kata dalam lagu itu punya makna yang dalam. Bahwa setiap kata dalam lagu2 itu, bukan semata pengalaman pribadi seseorang seperti lagu2 rohani profan, namun setiap liriknya disusun berdasarkan Kitab Suci dan dasar iman Katolik. Ternyata juga bahwa setiap tata gerak kita itu punya makna, mengapa kita berdiri, mengapa kita berlutut, mengapa kita menepuk dada, mengapa kita memandang, mengapa kita mendengarkan sabda dan bukan membaca sabda, dan bahkan dalam setiap liturgi yang kita rayakan itu semua merupakan Tradisi yang bahkan ada sejak Perjanjian Lama. Ternyata aku tidak mengenal  Gerejaku sendiri.

Apakah sekarang aku sudah menjadi seorang ahli liturgi? Oh tidak… aku masih sangat jauh dari sebutan ahli. Masih banyak sekali yang harus aku pelajari. Masih banyak yang aku belum tahu, dan aku sangat menikmati proses ini. Aku merasa jatuh cinta pada Gereja Katolik untuk pertama kalinya. Setiap kali merayakan Ekaristi, aku tidak pernah merasa bosan lagi. Lagu ordinarium yang dulu hanya lagu2 yang lewat tanpa makna, menjadi lagu yang paling aku nantikan, karena disanalah ungkapan iman itu dinyatakan.

Jika kau bertanya, mungkin aku belum bisa menjawab, karena masih terbatasnya pengetahuanku,tapi akan kucari jawabnya untukmu. Dan jika kau ingin tahu, mari belajar mengenal Gereja Katolik bersamaku. Mari kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Percayalah...bahwa misa tidak akan membosankan lagi.

Aku mengucap banyak terima kasih untuk semua yang sudah membimbing aku selama ini..para ahli liturgi, teman2 di group, page2 Katolik,.... dan jangan bosan jika aku masih akan banyak bertanya.